Oleh: Ihwang Syaputra
Oerban.com – Dalam perjalanan sejarah manusia, satu hal yang tidak pernah padam adalah pertarungan antara kebenaran (Al-Haq) dan kebatilan (Al-Batil). Keduanya terus bersitegang, saling menunjukkan eksistensi, masing-masing mengklaim sebagai yang paling benar. Kebenaran berusaha menampakkan dirinya melalui kejujuran, keadilan, dan cahaya petunjuk, sementara kebatilan membungkus dirinya dalam retorika, ilusi, dan propaganda.
Sejarah Islam sendiri menjadi saksi nyata dari pertarungan ini. Sejak masa Nabi Adam dengan Iblis, hingga zaman Rasulullah ﷺ menghadapi Abu Jahal dan para pembesar Quraisy, serta perjuangan kaum Muslimin melawan kekufuran di berbagai belahan dunia. Yang mempertemukan mereka bukan sekadar konflik fisik, tetapi benturan ide, prinsip, dan keyakinan.
Di zaman modern, konflik ini belum juga berakhir. Bahkan, ia menjelma dalam berbagai bentuk yang lebih kompleks: perang pemikiran, ideologi, sistem hukum, media, bahkan relasi sosial. Masing-masing membawa “kebenaran” versinya sendiri. Namun, pertanyaannya: standar apa yang digunakan untuk menilai benar dan salah?
Inilah tantangannya. Ketika manusia menjadikan dirinya sebagai tolok ukur kebenaran, maka akan muncul banyak versi kebenaran. Setiap individu, kelompok, atau bangsa bisa saja mengklaim memiliki kebenaran yang sah. Padahal, jika kebenaran ditentukan oleh kepentingan manusia, maka yang lahir hanyalah kekacauan moral.
Islam hadir dengan solusi yang tegas: jadikan Allah ﷻ dan syariat-Nya sebagai standar kebenaran. Dalam Alquran, Allah telah menjelaskan bahwa kebenaran datang dari-Nya dan tidak ada setelah kebenaran selain kesesatan (QS. Yunus: 32). Maka, tugas seorang muslim adalah berpegang teguh pada petunjuk Ilahi, bukan sekadar mengikuti arus opini mayoritas.
Kita juga belajar dari sejarah bahwa perbedaan pemahaman bisa menjelma menjadi perbedaan keyakinan. Bahkan, tokoh sekelas Soekarno dan Hatta, yang bersama-sama memperjuangka kemerdekaan bangsa, pada akhirnya berpisah jalan karena perbedaan prinsip. Perbedaan ini bisa tumbuh menjadi permusuhan, kebencian, hingga pertumpahan darah. Jika itu terjadi dalam dunia politik, apalagi dalam ranah akidah dan keyakinan?
Karena itu, kita perlu terus waspada. Kebenaran dan kebatilan akan selalu bertarung dalam berbagai medan baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Kita harus memilih untuk berpihak. Dan pilihan itu tidak bisa netral. Sebab, siapa yang tidak memihak kebenaran, pada akhirnya akan terseret ke dalam kebatilan sedikit demi sedikit, tanpa disadari.
*Penulis merupakan mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.