Jakarta, Oerban.com – Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat) untuk menurunkan laju penularan Covid-19 yang sudah sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Penambahan kasus harian yang masih diatas 20 ribu membuat kebijakan pengetatan harus dilakukan.
Dalam PPKM Darurat ini, daerah dengan nilai asesmen 4 (zona merah) di Indonesia mencakup 45 kabupaten/kota dan daerah dengan nilai 3 (oranye) sebanyak 76 kabupaten/kota dilakukan kebijakan pengetatan 100 persen work from home (WFH) untuk sektor non esensial.
Demikian juga dengan kegiatan belajar yang dilakukan secara daring, pembatasan jam operasional pasar, supermarket, pusat perbelanjaan dan fasilitas umum. Termasuk tempat wisata ditutup serta pembatasan secara ketat kegiatan sosial ekonomi lainnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mendorong kebijakan PPKM Darurat meski kebijakan tersebut sudah sangat terlambat dan bisa menimbulkan kebingungan karena ada istilah baru lagi.
Menurutnya, pengetatan memang harus dilakukan agar penularan bisa lebih dikendalikan. Namun dia heran dengan sikap pemerintah pusat yang masih bertahan dengan payung kebijakan PPKM. Padahal ada Undang Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Seharusnya untuk daerah yang sudah sangat kritis seperti Jabodetabek bisa diterapkan kebijakan yang extra ordinary seperti kembali ke PSBB ketat dan melakukan rem darurat berbagai kegiatan,” kata Mufida, Kamis (01/07/2021).
Ia mengingatkan dalam situasi saat ini, pembatasan ketat jangan hanya pada kegiatan di tempat, namun yang lebih penting adalah pembatasan mobilitas orang.
“Meskipun sudah diterapkan 100 persen WFH, namun harus diikuti dengan pembatasan mobilitas untuk aktivitas yang tidak perlu dengan cara pembatasan jam operasional transportasi publik dan perluasan titik-titik pembatasan mobilitas,” ungkapnya.
Indikator yang digunakan dalam penetapan zona juga harus jelas dan tegas, berbasis wilayah kabupaten/kota, bahkan kawasan dengan interaksi tinggi antar daerah. Jangan sampai ada mobilitas yang longgar antar daerah hanya karena perbedaan zona padahal berada dalam satu kawasan dengan interaksi tinggi
“Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat tidak melakukan mobilitas yang tidak penting atau mobilitasnya bisa ditunda di kemudian hari,” jelas Anggota DPR RI Dapil Jakarta 2 yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri ini.
Hal yang penting adalah keseriusan dalam pengawasan di lapangan dengan melibatkan TNI-Polri dan Satpol PP serta pelibatan tokoh masyarakat lokal dalam memberikan edukasi ke masyarakat. Sebab pengawasan yang lemah di lapangan selama ini menjadi sumber kegagalan PPKM Mikro. Sosialisasi 5M harus digencarkan lagi melalui berbagai media, baik media online maupun media offline di banyak titik supaya masyarakat terbantu diingatkan.
“Pengawasan di lapangan jangan hanya formalitas belaka, tapi harus berkelanjutan dengan tetap mengedepankan pendekatan persuasif dan edukatif ke masyarakat serta sanksi jika diperlukan. Semua pihak harus paham mengapa pembatasan ketat ini perlu dilakukan dan jangan dilanggar untuk kebaikan bersama. Pemerintah juga hatus memberi contoh dengan tidak membuat kegiatan yang justru bertentangan dengan pembatasan yang dlakukan ini” tegasnya.
Di sisi lain, Anggota DPR dari PKS ini meminta pemerintah betul-betul serius dalam upaya meningkatkan 3T, testing dan tracing kepada seluruh masyarakat Indonesia.
“Testing kita secara nasional masih sangat rendah dan jauh dari standar. Hanya DKI Jakarta, Sumatera Barat dan Yogyakarta saja yang sudah bagus. Karenanya harus ada target yang jelas untuk peningkatan testing ini,” ujarnya.
Menurut Mufida, peningkatan testing secara massif yang diikuti dengan tracing, menjadi salah satu kunci untuk bisa lebih mengendalikan penularan seperti yang dilakukan India. Oleh karena itu dirinya mendesak pemerintah pusat untuk melakukan peningkatan testing dan tracing yang diikuti dengan peningkatan kecepatan keluarnya hasil tes PCR.
“Selama ini lambatnya keluar hasil tes swab PCR menjadi salah satu masalah yang menghambat. Apalagi swab PCR yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah yang memerlukan waktu berhari-hari untuk keluar, sehingga upaya tracing juga menemui kendala.” katanya.
Terakhir Mufida juga meminta agar pemerintah meningkatkan kapasitas tempat perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit (RS). Langkah ini dilakukan dengan mempersiapkan rumah sakit lapangan atau tenda-tenda perawatan di areal RS serta mendorong lebih banyak keterlibatan RS Swasta dalam penanganan pasien covid-19.
“Tentu saja ini harus dibarengi dengan komitmen pemerintah untuk segera menyelesaikan tunggakan tagihan RS dalam penanganan covid-19,” imbuhnya.
Ia juga meminta pemerintah pusat dan daerah memperbanyak tempat-tempat perawatan bagi pasien tanpa gejala atau gejala ringan untuk melakukan isolasi. Apalagi dengan kondisi penularan tinggi saat ini, banyak masyarakat yang sulit melakukan isolasi mandiri di rumah karena kondisi rumah yang tidak memungkinkan.
“Sudah banyak kasus isolasi mandiri yang justru menyebabkan penularan ke anggota keluarga lain. Bahkan ada yang meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri di rumah, karena kurangnya pemantauan dan penanganan situasi darurat. Karenanya perlu pengawasan melekat di lapangan,” pungkas Mufida.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini