Kota Jambi, Oerban.com – Menurut para ahli, ekspresi dari beberapa emosi bersifat universal. Misalnya, ketika merasa senang seseorang akan tersenyum atau tertawa. Sebaliknya ketika merasa sedih, seseorang akan terlihat murung atau menangis.
Ekman, dkk (1987) melakukan penelitian yang menunjukkan bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsikan emosi. Kepada para subjek yang berasal dari beragam kebudayaan, para peneliti memperlihatkan foto ekspresi enam emosi universal (gembira, marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut). Para subjek diminta untuk memberi label pada masing-masing ekspresi foto emosi dengan memilih kata yang sesuai dengan ekspresi emosi pada foto menilai seberapa kuat atau intens emosi yang diekspresikan.
Foto-foto ekspresi tersebut ditayangkan selama tiga puluh detik dan peserta dituntut untuk merespon dengan cekatan sekaligus akurat. Para subjek dari budaya beragam tersebut sepakat dalam melabeli ekspresi emosi sebagaimana mestinya, yang menunjukkan universalitas rekognisi emosi.
Namun, terdapat perbedaan antarbudaya dalam hal seberapa kuat mereka dapat mempersepsikan emosi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa budaya-budaya Asia menilai intensitas ekspresi emosi tersebut lebih lemah dibandingkan budaya-budaya non Asia. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsikan tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya lain.
Penelitian-penelitian lain tentang emosi dalam sudut pandang kultural juga telah mendokumentasikan perbedaan kultural dalam persepsi dan interpretasi emosi. Contohnya, di Indonesia sendiri, pada umumnya masih sering terdengar stereotip-stereotip kesukuan yang menunjukkan karakteristik pengungkapan emosi suatu kultur tertentu dalam proses interaksi sosial. Misalnya, orang‐orang Jawa dan Sunda beranggapan bahwa mereka halus dan sopan, dan orang‐orang Batak kasar, berwajah sangar, serta suka berbicara dengan intonasi keras.
Orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Namun, orang‐orang Batak menganggap orang Jawa dan Sunda lemah dan tidak suka berterus-terang. Apa yang orang Jawa dan Sunda anggap sebagai kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang Jawa dan Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan kelemahan (Mulyana, 1999).
Beberapa ahli psikologi percaya bahwa budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan emosi melalui ekspresi yang ditunjukkan. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini di sebut aturan “dekode” atau “decoding rules”. Aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang di suatu budaya memandang dan menginterpretasikan ekspresi-ekspresi emosi orang lain.
Seperti aturan pengungkapan emosi melalui ekspresi, aturan dekode dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, serta dipahami sedemikian baik sehingga seseorang tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.
Contoh lainnya adalah orang-orang Rusia. Orang-orang Rusia berpandangan bahwa tersenyum pada orang asing adalah hal yang konyol, ganjil, aneh, dan dianggap sebagai sebuah kebodohan.
Tersenyum pada orang asing, di Rusia, merupakan sebuah hal yang tabu dan bahkan bisa dibilang tidak sesuai dengan norma kesusilaan di sana. Bagi orang Rusia, seulas senyuman adalah hal yang sangat berharga, spesial, dan tak pantas diberikan untuk orang asing yang belum atau tak dikenal. Tak hanya itu, sebuah senyuman, bagi orang Rusia, ialah tanda ketulusan, bukan keramahan—sehingga tak bisa diberikan pada sembarang orang. Kontras dengan masyarakat Barat yang menganggap senyuman adalah hal yang disuguhkan secara otomatis untuk memulai suatu percakapan dengan orang asing, orang Rusia justru merasa waspada dengan kehadiran orang asing. Hal ini dikarenakan kisah sejarah tidak menyenangkan yang mewarnai Negeri Beruang Putih tersebut, di mana di masa lalu, Rusia acap kali bersinggungan dengan agresi-agresi, baik dari bangsa lain ataupun internalnya sendiri, pun sebab hingga saat ini fenomena catcalling marak terjadi di sana, menjadikan orang Rusia berpandangan bahwa mereka harus selalu waspada serta tidak mudah memercayai orang asing.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini