email : [email protected]

31.7 C
Jambi City
Rabu, Oktober 9, 2024
- Advertisement -

Refleksi Menjelang HAKTP Tahun 2024: Pentingnya Kolaborasi Pemerintah dalam Akselerasi Kebijakan UU TPKS

Populer

Jakarta, Oerban.com – Kasus kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih terjadi. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat terjadi baik di ranah publik maupun domestik.

Kasus NKS (18) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat misalnya. Ia ditemukan tewas terkubur dengan kondisi telanjang setelah hilang selama tiga hari saat berjualan gorengan keliling. NKS diduga mengalami perkosaan sebelum ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.

NKS sendiri merupakan tulang punggung keluarganya setelah orangtuanya berpisah (Okezone.com, 9/8/2024). Begitu pula pada dr. Aulia Risma yang meninggal dan diduga menjadi korban perundungan dan pemerasan saat menjalani program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip.

Dewi Rahmawati Nur Aulia, Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (10/9/2024), mengatakan bahwa perempuan korban dari beragam kasus kekerasan masih mengalami keprihatinan karena menjadi korban dari tindak kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh karena supremasi laki-laki. Perempuan juga menjadi korban kekerasan oleh perempuan lainnya, seperti yang diduga dialami dr. Aulia dalam masa pendidikannya.

“Pada konteks perempuan korban kekerasan seksual, perempuan cenderung diobjektifikasi sebagai mahluk yang lemah secara fisik sehingga cenderung rentan “dinormalisasi” untuk diperlakukan tidak pantas, baik dilecehkan secara verbal maupun fisik. Padahal, hal ini jelas tidak benar sama sekali,” tukas Dewi.

Dewi menuturkan bahwa dalam Catatan Tahunan tahun 2023 yang dirilis oleh Komnas Perempuan menyebutkan terdapat 2228 kasus dari 5831 kasus atau 38% dari total seluruh jenis kekerasan. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2021 yang berjumlah 2.204 kasus. Terbanyak kedua adalah kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Sedangkan lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4.102 kasus/26.52%). Bentuk kekerasan ketiga terbanyak dicatatkan adalah kekerasan psikis, yaitu sebanyak 5.137 kasus. Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebut berjalan beriringan, baik kekerasan psikis, seksual, dan fisik.

Baca juga  Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Percepat Lahirnya UU TPKS

“Data tersebut menerangkan bahwa perempuan cenderung dinilai lemah, tidak hanya fisiknya namun juga posisinya secara sosial. Dengan demikian, bentuk kasus-kasus yang terjadi boleh jadi merupakan satu rangkaian peristiwa yang tidak terputus,” ujar Dewi.

Lebih lanjut, dalam rangka menjelang Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang akan diperingati pada bulan November mendatang, Dewi menyampaikan bahwa pemerintah beserta pemangku kebijakan yang berkepentingan lainnya perlu didorong untuk bersama-sama berkolaborasi dalam upaya percepatan kebijakan UU TPKS. Misalnya, terkait tindak lanjut dari peraturan turunan yang sudah ada dan sinergi para pemangku kebijakan, serta mendorong pemerintah untuk menerbitkan peraturan turunan yang masih belum ditindaklanjuti.

“Saat ini, telah ada tiga peraturan turunan dari UU TPKS yang telah disahkan. Lebih jauh, kita perlu mendorong Kemenkumham dan Kemen PPPA termasuk pemangku kebijakan lainnya untuk sama-sama mengawal dan berkolaborasi dan mengakselerasi pelaksanaan kebijakan UU TPKS agar perempuan dapat memperoleh sistem perlindungan yang komprehensif dan terjamin oleh hukum dan dengan komitmen para pemangku kepentingan terkait,” tutup Dewi.

Editor: Ainun Afifah

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru