Surat Terbuka untuk Demokrasi Mahasiswa UNJA
Oleh : Novita Sari
Perkataan mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy yang berbunyi ” jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya” agaknya perlu kita tinjaui kembali. Pasalnya sudah banyak puisi dan karya sastra yang diciptakan untuk menyindir, mendobrak bahkan menampar muka politik dengan tegas namun tetap saja, dunia politik tetap kotor dan bengkok.
Namun kita tak bisa mengelakkan diri dalam dunia politik. Seperti ungkapan Pramoedya, selama ada yang diperintah dan memerintah , dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. Maka pilihan yang cerdas ialah menjaga kewarasan tanpa baper berkepanjangan dalam menjalankannya.
Menengok dramatisasi politik belakangan ini, membuat kita tersenyum geli. Terbelahnya rakyat menjadi dua kubu, melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah hingga rekonsiliasi yang membuat kita yakin dengan lirik lagu Noah—tak ada yang abadi. Tetapi yang satu ini sangat jauh dari pusat pemerintahan. Cerita ini berasal dari salah satu kampus ternama di Provinsi Jambi, yaitu Universitas Jambi (UNJA).
Tak perlu jauh-jauh mempermasalahkan parkir kampus yang tiba-tiba magkrak, fakultas yang belum OTK, parkir FKIP yang tak jelas, transparansi dana kampus, Juelt yang mencekik, penerimaan dosen tak linear, visi dan misi yang terkesan utopis, hingga permasalahan lain, tak perlu. Bakal bikin kita sakit hiks. Mari melihat kondisi yang amat sangat dekat dengan kita sebagai mahasiswa, apalagi kalau bukan demokrasi kampus.
Jika berbicara demikian, kita tidak akan jauh-jauh dari kontestasi politik kampus atau yang biasa disebut pemira (pemilihan umum raya). Kalau kita mengasumsikan mahasiswa sebagai orang-orang yang intelek, jangan heran jika hal itu akan terpatahkan dalam proses pemira. Ada banyak hal-hal aneh yang akan kamu ketahui dalam prosesnya. Fenomena baliho tumbang, kotak suara yang tiba-tiba hilang, hingga proses yang memakan waktu dan mengakibatkan pihak kampus campur tangan dengan adanya keputusan adhoc seperti tahun lalu.
Tepat pada tanggal 1 Juni 2018 pasangan Presiden dan wakil presiden terpilih disahkan oleh KPU kampus. Namun, telah lewat satu periode kepengurusan tersebut belum juga diganti bahkan diperpanjang dengan SK PLT (pelaksana tugas) begitu pula dengan DPM. Berkaca dari hal ini, mari kita tarik benang merahnya dan kita elaborasi dengan beberapa kajian humaniora.
Pertama, menyalahkan badan eksekutif mahasiswa karena terlalu lama menjabat adalah perbuatan yang sungguh sangat tidak terpuji. Ketentuan pergantian kepengurusan BEM berada pada proses pemira yang digawangi oleh KPU mahasiswa sebagai pihak penyelenggara dan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) yang diibaratkan sebagai DPR. Maka memberikan celoteh unfaedah dengan maksud menjelek-jelekkan (Bem tak mau turun tahta) di akun instagram Bem unja adalah perbuatan tercela lagi fitnah.
Kedua, PLT ketua DPM yang dipilih sepihak oleh pihak rektorat. Dalam undang-undang susunan kedudukan (SUSDUK) lembaga keluarga besar mahasiswa Universitas Jambi tahun 2014 ketua DPM atau sebelumnya disebut MAM berasal dari partai mahasiswa yang memperoleh suara terbanyak pertama pada pemira KBM UNJA. Namun PLT ketua DPM saat ini malah berlaga berdasarkan keputusan rektor, jikapun harus PLT maka yang menjadi ketua DPM harusnya perwakilan partai terpilih yang mendapat suara terbanyak sama halnya dengan PLT Presiden mahasiswa yang ada namun kondisinya malah berbeda. Sehingga patut dipertanyakan, kedudukan PLT ketua DPM atas dasar apa.
Ketiga, keputusan perubahan undang-undang pemira KBM Universitas Jambi tahun 2019 yang termaktub dalam keputusan No. 03/KPTS/MAM KBM-UNJA/VII/2019 tidak banyak berubah, malah perubahan yang paling jelas ialah pada tata cara pembagian kursi DPM berdasarkan hasil pemerolehan suara. Dalam undang-undang pemilihan umum raya (pemira) KBM UNJA 2014 pada Bab XII tentang penetapan perolehan kursi, Pada pasal 42 tentang cara pembagian kursi MAM KBM UNJA dan MAM Fakultas yang terdiri dari 3 butir ketentuan yakni (1) partai politik dengan suara terbanyak pertama memperoleh kursi ½+1 dari jumlah MAM KBM UNJA atau MAM Fakultas (2) sisa kursi MAM KBM dan Fakultas dibagikan kepada partai politik mahasiswa dengan suara terbanyak kedua dan seterusnya (3) pembagian kursi MAM KBM UNJA atau MAM Fakultas dikali dengan suara partai politik mahasiswa dikali dengan suara sah MAM KBM UNJA dan MAM Fakultas.
Sedangkan pada perubahan yang dibahas beberapa bulan lalu pada pasal 48 terdiri dari (1) partai politik mahasiswa terbanyak mendapat 6 kursi dari jumlah kursi MAM KBM UNJA, partai politik suara terbanyak kedua dan ketiga memperoleh 5 kursi dan 4 kursi dari jumlah MAM KBM Unja. (2) sisa kursi MAM KBM UNJA dibagi sama rata kepada partai politik mahasiswa lainnya yang telah lolos ambang batas sebanyak 2,5 % dari suara sah masing-masing kursi serta 5 poin lain yang akan sangat membosankan untuk dibaca jika dituliskan. Dalam hal ini, tampak orientasi tujuan yang hanya mementingkan kursi bukan pada perbaikan sistem demokrasi yang sehat.
Keempat, proses rapat KBM yang dadakan mirip tahu bulat. Tanpa hujan tanpa angin apalagi petir, dikeluarkanlah surat undangan untuk 13 Fakultas yang berisi pembahasan teknis pembentukan pansel KPU dan Bawaslu KBM Universitas Jambi tepat pada hari ini, Kamis 14 November 2019 pukul 14.00 Wib di Gedung Senat Rektorat Universitas Jambi. Sebagai mahasiswa biasa, kita hanya bisa berdoa dan berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik tanpa pertumpahan darah. Cukuplah para pahlawan demokrasi yang terlibat panitia KPPS yang hilang nyawa dan kabarnya, mahasiswa kampus kita jangan. Apalagi untuk mereka yang katanya agent of change tentu tidak akan berbuat hal-hal yang licik bukan.
Penulis : Novita Sari
Editor : Siti Saira. H