Muaro Jambi, Oerban.com – Di tengah hiruk pikuk kehidupan mahasiswa, ada sosok inspiratif bernama Tiara Gusti Nita Putri, atau akrab disapa Rara, mahasiswi Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Jambi (Unja) angkatan 2022, berasal dari Riau yang kini sedang merantau di Jambi.
Tak seperti mahasiswa pada umumnya, Rara menjalani hari-harinya dengan semangat luar biasa untuk menjadi entrepreneur muda sebuah cita-cita yang tumbuh dari kondisi ekonomi keluarga dan dorongan kuat untuk mandiri.
Lahir dari keluarga kelas menengah ke bawah dan bukan penerima bantuan seperti KIP atau Bidikmisi, mahasiswi asal Riau ini tahu betul arti perjuangan. Ia memilih untuk tidak membebani kedua orang tuanya.
“Orang tua fokus ke kontrakan, Rara fokus ke UKT,” ujarnya. Prinsip itu ia pegang teguh sejak semester awal, hingga akhirnya memberanikan diri untuk menjual kue buatannya sendiri ke kampus dan sekitar tempat tinggal.
Usaha dagangnya bukan dimulai dari kuliah. Sejak kecil, Rara sudah akrab dengan dunia jualan. Mulai dari menjual donat buatan neneknya saat SD, hingga menjual pulsa dan token listrik saat SMA. Bahkan, ia sempat berjualan diamond game untuk menyesuaikan dengan pasar anak-anak muda di kampung halamannya.
Kini, Rara serius mengembangkan bisnis kue seperti risoles, ketan hitam, cookies, dan mini dessert, yang ia buat sendiri hingga larut malam. “Tidur jam 3, bangun jam 4 itu biasa. Tapi karena ini hobi, jadi nggak terasa capek,” ungkapnya dengan semangat.
Bahkan, ia pernah membuat lebih dari 1000 kue seorang diri untuk acara pengajian, termasuk risoles, donat, dan bolu kukus.
Berjualan bukan perkara mudah. Awal-awal, ia harus berjalan kaki membawa risoles ke kampus, mengantar dagangan ke lapak-lapak pagi, dan belanja bahan di pasar tanpa kendaraan. Namun keterbatasan itu tidak membuatnya menyerah. Ia menyisihkan uang jualan untuk membeli sepeda dan oven dua hal yang menjadi penunjang usahanya. “Kalau banyak uang pun, aku belanjakan untuk sesuatu yang produktif,” katanya.
Meski tampak kuat, Rara sempat menangis ketika perjuangannya disalahpahami oleh adik dan orang tuanya. Ia hanya meminta Rp100 ribu setiap dua minggu, namun tetap dianggap boros.
“Padahal aku sudah menghemat banget. Aku tahu orang tua juga sedang susah,” katanya. Momen itu menjadi titik penting baginya untuk bicara jujur kepada orang tua tentang kondisi hidup dan perjuangannya di rantau.
Kini, orang tua mulai memahami dan memberi dukungan lebih, bahkan sering bertanya: “Duit masih ada, Nak?” Meski demikian, bantuan utama datang dari hasil kerja kerasnya sendiri. Ia mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran harian, mengevaluasi hasil jualan, dan terus memperbaiki sistem dagangnya.
Rara berharap kisahnya bisa menjadi motivasi bagi mahasiswa lain yang masih membohongi orang tua demi foya-foya atau mengikuti tren semata.
“Sudahlah bohongin orang tua, cukup. Kita kuliah itu pakai perjuangan mereka. Malu sama diri sendiri kalau kita main-main,” tutupnya.
Editor: Ainun Afifah