Jakarta, Oerban.com – Tuduhan dari Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus, yang menyebut keterlibatan aparat kepolisian dalam pemenangan sejumlah calon kepala daerah di Pilkada 2024 menimbulkan polemik. Ia menyebut kepolisian menjadi perusak demokrasi melabelinya sebagai Partai Cokelat.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menuding aparat kepolisian telah menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak 2024. Seiring dengan polemik tersebut, tokoh-tokoh PDIP kemudian menggulirkan isu kembalinya Polri di bawah TNI.
Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Analisa Keamanan Indonesia (PUSAKA), Adhe Nuansa Wibisono, Ph.D meragukan kekuatan argumentasi dari tuduhan tersebut yang dinilainya merupakan upaya untuk melemahkan Polri sebagai institusi sipil yang independen. Sejak reformasi 1998, Polri dipisahkan dari TNI melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Pemisahan ini dilakukan untuk memastikan Polri memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang jelas sebagai institusi sipil, bukan militer. Kembalinya Polri di bawah TNI akan menjadi langkah mundur dari reformasi 1998 yang sudah memperkuat demokrasi dan penegakan hukum berbasis HAM,”, kata Wibisono kepada awak media pada Selasa (2/12/2024).
“Tuduhan PDIP mengenai istilah Partai Coklat yang dialamatkan kepada Polri terkait Pilkada 2024 perlu disikapi dengan klarifikasi dan pembuktian faktual, bukan sekadar retorika. Pengawasan atas kinerja Polri juga sudah diatur melalui mekanisme internal di Propam dan eksternal melalui Kompolnas, sehingga tidak diperlukan subordinasi ke TNI,” ujar alumnus Turkish National Police Academy tersebut.
“PDIP harus dapat membuktikan tuduhannya seperti prinsip hukum actori incumbit probatio, actori onus probandi, siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan. Jika tidak dapat membuktikan maka ini akan menjadi tuduhan yang serius kepada Institusi Kepolisian dan memiliki implikasi hukum,” kata alumnus FISIP Universitas Indonesia tersebut.
Wibisono kemudian menyebutkan argumentasi adanya risiko kembalinya paradigma keamanan yang lebih represif, terkait usulan PDIP tentang posisi Polri di bawah TNI.
“TNI memiliki fungsi berbeda, yaitu menjaga pertahanan negara, sedangkan Polri berperan dalam penegakan hukum dan keamanan domestik. Ketika Polri berada di bawah TNI, fungsi sipil Polri bisa terdistorsi. Berpotensi mengarah pada pendekatan keamanan yang lebih represif, sebagaimana terjadi pada era Orde Baru,” kata Wibisono.
“Mengembalikan Polri di bawah TNI akan menciptakan preseden buruk bagi institusi demokrasi di Indonesia. Dalam negara demokratis, institusi sipil harus tetap netral dan independen tanpa subordinasi oleh institusi militer. Jika dipaksakan, usulan ini dapat merusak kepercayaan internasional terhadap perkembangan demokrasi Indonesia,” pungkasnya.
Editor: Ainun Afifah