Jambi, Oerban.com- Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia (GEMA PETANI) Provinsi Jambi mempertanyakan sikap Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian) yang terkesan tergesa – gesa dalam mendorong agar dilakukannya impor 11 bahan pangan dalam mengantisipasi wabah Virus COVID-19. (28/03/2020)
Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah (DPW) GEMA PETANI Yoggy E Sikumbang menegaskan, dalam hal ini pemerintah harus bertindak secara konstitusional, yang tentunya harus mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait impor pangan yang hanya dimungkinkan apabila pangan nasional tidak mencukupi dan terbatasnya waktu untuk mengantisipasi ketersediaan pangan.
“salah satu hal terburuk dari COVID-19 adalah terjadinya krisis pangan di Indonesia, akan tetapi pemerintah harus berhati-hati dan jangan terkesan memaksakan dengan mengeluarkan kebijakan yang melanggar ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 12 tentang Pangan” ujarnya di Jambi (27/03).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto diketahui telah memberi instruksi kepada Menteri Perdagangan Agus Suparmanto untuk membuka seluruh Persetujuan Impor (PI) pangan 11 komoditas, di antaranya adalah beras, gula, daging sapi, daging kerbau, bawang putih, dan jagung.
GEMA PETANI Provinsi Jambi dalam hal ini berpandangan bahwa jangan sampai kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi COVID-19 justru mengabaikan pangan yang diproduksi oleh petani Indonesia.
“Jangan lupakan dosa di masa lalu. Efek dari penanggulangan krisis ekonomi 1998 salah satunya adalah terbitnya izin impor beberapa komoditas pangan secara ugal-ugalan. Hal ini berimbas kepada terpuruknya petani pangan Indonesia” sambung Yoggy E Sikumbang.
Yoggy E Sikumbang menerangkan, GEMA PATANI berharap rencana pemerintah untuk impor pangan mengantisipasi COVID-19 tidak dijadikan alasan untuk membuka sektor pangan kita lebih luas lagi kepada pasar. Sebaliknya Pemerintah harus mengalokasikan dana darurat untuk penanggulangan COVID-19 di Indonesia pada penguatan sistem pangan yang tidak tergantung dari pasar pangan global. Salah satunya adalah dengan memosisikan petani kecil dan pertanian keluarga petani sebagai produsen pangan di suatu negara.
“Kita masih punya waktu untuk mengantisipasi ketersediaan pangan di dalam negeri untuk beberapa waktu ke depan. Pemerintah dapat memberikan insentif ataupun stimulus terhadap petani kecil sebagai produsen pangan dalam negeri, mengingat jumlah petani kecil di Indonesia yang mayoritas. Hal ini diharapkan dapat mendorong produksi hasil pertanian dari petani maupun keluarga petani sehingga dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan antisipasi terhadap kelangkaan pangan yang terjadi,” tambahnya.
Tri Oki Jambak, Ketua Biro Kajian Strategi dan taktik DPW GEMA PETANI Jambi menambahkan, dengan melihat dampak dan efek domino dari covid-19 sebagai pandemi internasional, GEMA PETANI kembali mengingatkan pemerintah Indonesia tentang konsep ‘Kedaulatan Pangan’ untuk menghadapi situasi akibat wabah maupun bencana berkepanjangan menjadi relevan.
“Untuk kebijakan jangka panjang, prasyarat-prasyarat utama kedaulatan pangan, seperti “Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan” dan “Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi”, “Pengutamaan produksi pangan dalam negeri”, “pertanian rakyat dalam merumuskan kebijakan pangan dan pertanian”; semua itu sebenarnya sudah sesuai dengan apa yang dimandatkan di dalam Undang-Undang (UU) Pangan No.18 tahun 2012, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan), UU Hortikultura No.13 Tahun 2010, UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UNDROP (Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan).
Oki menambahkan, hal ini tidak terlepas dari rapuhnya sistem pangan suatu negara apabila menggantungkan diri pada distribusi atau rantai pasok global yang berorientasi kepentingan pasar dan rentan akan spekulasi.
Sementara itu untuk kebijakan jangka pendek, GEMA PETANI mendesak pemerintah untuk memberikan insentif terhadap petani kecil sebagai produsen pangan dalam negeri sebagai stimulus menghadapi potensi kelangkaan pangan.