email : [email protected]

24.8 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Menolak Lupa Pagaruyung di Wilayah Rancong Telang

Populer

Oleh: Agustia Gafar

Pemuda Kerinci

Kerinci, Oerban.com – Adat Rancong Telang adalah adat asli yang sudah ada sejak lama di Kabupaten Kerinci tepatnya di desa Pulau Sangkar. Sedangkan adat Pagaruyung adalah adat asli Minangkabau yang bertempat di wilayah Sumatera Barat.

Kerinci adalah suku Melayu tertua, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang diperkirakan dikeluarkan pada abad 14. Naskah Tanjung Tanah sebetulnya ditemukan dua kali, pertama pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve’ yang pada saat itu menjabat sebagai taalambtenar (pegawai bahasa pada zaman kolonial) untuk wilayah Sumatera dan selanjutnya didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 dan tebal 181 halaman yang diberi judul Tambo Kerinci.

Sedangkan penemuan kedua oleh Uli Kozok pada tahun 2002, Kozok lalu membawa sampel naskah ini ke Wellington, Selandia Baru untuk diperiksa di laboratorium supaya diterapkan penanggalan radiokarbon.

Kerinci sebagai suku Melayu tertua juga dikuatkan sebagai satu-satunya suku yang tidak tergabung dari kerajaan mana pun, namun letak wilayah Kerinci yang berada di garis lurus dengan Sumatera Barat dan berada di pemerintahan Provinsi Jambi secara demografi, bukan berarti Kerinci satu suku dengan orang-orang dari kerajaan Jambi maupun Pagaruyung.

Secara historis, pendirian adat Pagaruyung di desa Pulau Sangkar terjadi pada tahun 2017, kondisi ini dapat dikatakan dalam rentang waktu yang masih sangat muda, dimana segala kecanggihan teknologi sudah kita rasakan bersama. Di tahun ini pula masa dimana penulis baru menginjak bangku perkuliahan.

Beberapa bulan kebelakang penulis tertarik menelusuri fakta-fakta terkait pendirian Pagaruyung yang berdiri di wilayah Kabupaten Kerinci, desa Pulau Sangkar, berdasarkan dialog dengan para-para tokoh di Kerinci, orang tua, dan rekan-rekan yang memiliki persinggungan dengan itu.

Dilihat dari sejarah Jambi, Kerinci dan Minangkabau pernah membuat perjanjian yang disebut perjanjian “Setinjau Laut” ada 3 isi perjanjian, yang berbunyi “tanah nan bagulung, sungai nan beralas, hak milik masing-masing, artinya sama-sama dijaga.

Baca juga  Al Haris, Calon Gubernur Jambi Pro Milenial dan Gen Z

Dalam perjanjian 3 wilayah ini sama-sama dijaga tidak diperuntukkan untuk saling menguasai, namun dengan berdirinya Pagaruyung di Kerinci dapat dikatakan melanggar isi perjanjian untuk kepentingan salah satu pihak saja.

Menurut “Van Aken, “Nota Betereffende de Afdeeling Korintji” dalam Medeeling Encyelopedisch Bureau Aflevering VIII” menjelaskan, sebelum kemerdekaan atau masa penjajahan, tahun 1903-1921 Kerinci masuk dalam keresidenan Jambi, namun di masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 Kerinci bergabung dengan keresidenan Sumatera barat.

Pada masa setelah kemerdekaan dari tahun 1945-1957 Kerinci digabung dengan pesisir bernama Pesisir Kerinci (PSK), pada tahun 1957 keluar undang-undang darurat dengan nomor 19 tahun 1957 dan terbentuklah Kabupaten Kerinci dengan ibukotanya Sungai Penuh yang sampai hari ini Kerinci masuk ke wilayah pemerintahan Provinsi Jambi.

Terkait adat Pagaruyung yang masuk dan diresmikan di desa Pulau Sangkar, menurut 4 adat alam Kerinci dalam pertemuan pada tahun 2017, menyatakan bahwa tidak pernah ada penjajahan atau pun penguasaan Pagaruyung di wilayah Rancong Telang, juga tidak pernah terjadi pembagian tanah adat Rancong Telang kepada Pagaruyung, dan tidak pernah ada nama Rancong Telang Ujung Pagaruyung yang ada hanya Rancong Telang Pulau Sangkar.

Pada kenyataannya, ketika 2 adat ini dipertemukan pernah membuat masyarakat Kerinci heboh, kondisi pada dasarnya hanya merupakan siasat pengalihan agar pembangunan proyek PLTA di Kabupaten Kerinci berjalan dengan lancar dan aman. Isu kebudayaan ini memang merupakan kekayaan khas yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Kerinci, akan tetapi juga rawan digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu. Proses pembangunan PLTA secara umum akan berpengaruh pada warga masyarakat dan spesies endemik yang berada di sekitar kawasan, berbagai kasus pembangunan PLTA di Indonesia pernah mempermasalahkan hal ini, tak terkecuali di Kabupaten Kerinci.

Baca juga  WARGA KERINCI DISERANG BABI HUTAN DI RUMAHNYA SENDIRI

Editor : Renilda Pratiwi Yolandini

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru