email : [email protected]

24.5 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

7 Faktor yang Melatarbelakangi Bullying, Ditinjau dari Psikologi Pendidikan (Bagian 2)

Populer

Penulis: Ghina Syauqila

Sahabat, pada artikel sebelumnya yang dapat Sahabat baca di sini (7 Faktor yang Melatarbelakangi Bullying, Ditinjau dari Psikologi Pendidikan (Bagian 1)), kita telah membahas dua faktor yang menyebabkan bullying, yaitu pola asuh yang tidak tepat dan trauma masa lalu yang tenggelam di alam bawah sadar.

Kali ini, kita akan membahas faktor-faktor lainnya. Check it out!

Pergaulan dan teknologi

Bullying juga dapat dilatarbelakangi oleh pergaulan dan teknologi. Seperti yang kita tahu dan sadari, teknologi berkembang amat pesat saat ini. Siapapun sudah bisa menikmati teknologi, sudah mampu mengakses apapun, baik dari segi lingkup regional, nasional, bahkan internasional—termasuk pula di dalamnya anak-anak. Akibat kemajuan teknologi ini, anak-anak sekalipun bebas menggunakan teknologi, gadget, internet, televisi, media, dan segala macamnya. Bahkan anak-anak SD telah memiliki akun media sosial seperti Instagram atau Tiktok. Anak-anak SD yang seharusnya menyelesaikan tugas perkembangannya dalam belajar (mengembangkan kemampuan intelektual) dan melatih kreativitasnya kini terdistraksi pada gadget dan internet yang membuat mereka dengan mudah mengakses informasi atau konten-konten toxic—sehingga kita bisa lihat sekarang generasi penerus bangsa yang ‘benar’ dan ‘lurus’ sudah punah dan langka. Yang ada hanya calon-calon racun bangsa.

Mereka sudah bisa mengenal dunia orang dewasa melalui internet. Ditambah pengawasan orang tua amatlah tipis dan minim. Orang tua sendiri pun terlalu candu bermain gadget hingga lupa bahwa anak-anak seharusnya dididik dan dibimbing oleh mereka yang memiliki peran sebagai orang tua, bukan dididik dan dibimbing oleh gadget dan internet!

Berkaitan dengan pola asuh permisif yang telah kita bahas di artikel bagian pertama, orang tua bisa saja memberikan anaknya gadget dan akses internet yang luas di usia yang masih dini, membebaskan anak memakai gadget-nya kapan saja—sehingga anak dapat mengenal apa saja yang sebenarnya ‘tidak boleh’, dan merasa bebas—sangat-sangat bebas sehingga dengan kebebasan itu orang tua tidak tahu apa yang dilakukan anaknya di luar sana.

Baca juga  Attachment Style, Output dari Pola Asuh yang Berefek Hingga Dewasa

Menyambung dengan pergaulan. Akibat sudah melumutnya gadget dan internet yang tiada batas, serta teracuninya orang tua dan anak akan dua hal yang begitu melalaikan tadi, muncullah ‘generasi-generasi racun’ yang kemudian bertemu dan bertumpuk menjadi suatu asosiasi yang ‘rusak moral’. Generasi pembangkang, generasi pemalas, narkoba, pergaulan bebas, merokok—semuanya benar-benar muncul di linimasa kini. Anak-anak SD pun sudah lebih memperhatikan gaya hidup yang cenderung konsumtif dan narsis diri daripada prestasi sekolah. Hal ini benar-benar memalukan. Anak-anak SMP, bahkan SD, sudah tak segan lagi untuk mengucapkan kata-kata kasar—bahkan seisi kebun binatang pun sampai terlontar dari mulut mereka, bergaul tanpa batasan dengan lawan jenis, merokok, geng motor, perundungan, dan segala kenakalan remaja lainnya.

Jika kita memutar stigma ke belakang sebentar—kilas balik—benar-benar minim keja-dian memilukan sekaligus memprihatinkan yang pelaku dan korbannya anak-anak akhir dan remaja seperti saat ini di masa lalu. Gadget, internet, dan teknologilah yang memprovokasi kebanyakan hal-hal jelek pada anak. Anak-anak mengadopsi suatu sifat dan perilaku dari apa yang ia lihat; menirunya. Namun, gadget, internet, dan teknologi juga tak patut melulu disalahkan. Karena apa? Jika orang tua mengawasi anak lebih ketat lagi dan menyediakan kebutuhan internet sesuai usia dan keperluan anak secukupnya, maka tidaklah akan jadi seperti ini.

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru