Dalam sejarah perkembangan dunia, perempuan memiliki potensi tersendiri dalam kedudukannya sebagai salah satu jenis manusia yang ada. Kiprahnya di berbagai lini kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, pertanian dan lain-lain telah membantu peradaban kemanusiaan menjadi lebih maju dan cenderung variatif. Namun, meskipun demikian ancaman terhadap perempuan jauh lebih besar dibanding laki-laki.
Komnas perempuan Indonesia pada tanggal 6 Maret 2019 pernah mengeluarkan catatan tahunan angka kekerasan terhadap perempuan. Hasilnya, pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% dari tahun sebelumnya. Hal ini juga termasuk temuan baru terhadap pola dan trend kekerasan yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga, marital rape, incest, kekerasan dalam pacaran, penggunaan tekhnologi untuk menyebar konten yang merusak reputasi korban, kekerasan di ranah publik, bahkan kekerasan pada perempuan disabilitas. Kondisi ini menjadi ketakutan tersendiri bagi para perempuan Indonesia, ditengah arus budaya yang masih memandang perempuan sebagai pihak kedua dalam tatanan masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, perempuan mengalami peningkatan kuantitas sejak sekolah dasar hingga pendidikan tinggi meskipun dalam pelaksanaannya, kasus pelecehan dalam relasi teman, guru, dosen maupun staf intansi masih terus ada. Belum lagi dalam ranah yang lebih luas, penempatan perempuan secara feodal masih terpelihara hingga kini. Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul manusia indonesia pernah menyinggung kondisi ini. Praktik istri-istri pejabat tertentu yang menjadi ketua bukan berdasarkan kemampuan dan leadershipnya namun terpilih secara otomatis karena jabatan sang suami. Padahal dalam konsep pancasila kita mengenal keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, yang mengisyaratkan kesetaraan tanpa memandang gender apalagi kedudukan jabatan seorang suami terhadap posisi istrinya.
Konsep agama islam dalam kaitannya sebagai agama yang paling banyak dianut di Indonesia pun tak jauh berbeda. Hal itu termaktub dari fakta-fakta sejarah bahwa islam hadir menghapuskan segala bentuk perbudakan dan pembunuhan keji terhadap bayi perempuan pada zaman jahiliah. Nilai-nilai yang terdapat didalamnya pun menjamin keikutsertaan perempuan dalam segala sektor kehidupan masyarakat, termasuk bidang politik, ekonomi, agama, dan berbagai sektor publik lainnya. Namun sayangnya, pemahaman sepihak terhadap penafsiran posisi perempuan juga acap kali meneguhkan kedudukan perempuan sebagai pihak kedua.
Hari anak perempuan sedunia yang jatuh pada 11 Oktober hari ini menjadi refleksi bersama bagaimana posisi anak perempuan di dalam masyarakat, ia harus memikul tanggung jawab sebagai orang yang terpelajar, memiliki kemampuan/skill profesional di bidangnya, menjadi pesaing dengan kapabilitas yang tinggi serta menyadari peran dan posisi nya yang strategis agar tak melulu menjadi pihak yang ternomor duakan.
Penulis : Novita Sari