email : [email protected]

30 C
Jambi City
Jumat, Maret 29, 2024
- Advertisement -

Bahaya Hipokrasi Politisi Partai Islam

Populer

Oleh : Hendri Yandri *

Dalam sebuah diskusi ringan, penulis menawarkan untuk membuat branding bagi seorang politisi dari salah satu partai yang katanya beridiologi Islam. Sang politisi dengan mantab mengatakan bahwa semuanya sudah diatur. Sebuah ungkapan sederhana namun perlu pendalaman, maksud diatur bisa diartikan bahwa kegiatan sang politisi sudah diatur oleh sekretaris pribadinya, sesuai dengan agenda politik yang ada, sehingga tidak perlu repot-repot untuk membuat branding. Atau bisa jadi sudah diatur oleh partainya, sehingga semua tinggal jalan dan mengikuti kebijakan pimpinan partai. Namun penulis pikir, justru bukan keduanya, sebab politik menurut dia adalah pengabdian, yakni pengabdian kepada Yang Maha Kuasa, sehingga asumsinya, kata sudah diatur dapat diartikan sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Politik ada seni mengelola kekuasaan, sehingga setiap politisi apapun latar idiologinya pasti punya syahwat kekuasaan. Sangat naif apabila seorang politisi tidak punya niat untuk berkuasa dan bersembunyi dibalik jubah agama. Politisi seperti ini justru membahayakan agama itu sendiri, sebab menjadikan agama sebagai tameng untuk merebut kekuasaan.

Seperti sebuah penyakit, hipokrasi politisi Islam ini lambat laun merusak citra Islam sebagai agama kasih sayang, agama yang menerima semua perbedaan, agama yang mengedepankan moral dan logika, agama yang bicara apa adanya. Adalah wajar ketika pemikir Islam Nurcholis Majid (Cak Nur) membuat sebuah perumpamaan, Islam Yes, Partai Islam No.

Pemikiran Cak Nur ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang, dimana banyak partai Islam dan politisinya yang berkiprah di dunia perpolitikan nasional. Sayangnya, kiprah tersebut tidak selamanya sesuai dari kaidah dan moralitas keagamaan. Hal ini memunculkan kegalauan di benak masyakarakat.

Hipokrasi politik yang dikembangkan oleh para politisi Islam ini menjadi senjata bagi kompetitor politik mereka, dan secara tidak sadar mendowngrade Islam itu sendiri. Dalam pesta demokrasi baik pemilu legislatife ataupun pilkada, tarik ulur isu kampanye terus berkelindan dengan isu agama, yang kadang membuat pembelahan begitu tajam ditengah masyarakat.

Umat semakin kehilangan arah ketika memberikan hak politiknya, sebab sudah tidak ada lagi politisi yang benar-benar memperjuangan aspirasinya, dan alih-alih memperjuangkan, justru ketika mereka sudah menjadi anggota legislatif ataupun eksekutif, agenda politik dan kebijakannya tidak lagi bersentuhan dengan kebutuhan umat.

Praktek hipokrasi ini mestinya menyadarkan umat Islam, karena sebetulnya sudah tidak ada partai agama atau partai beridiologi agama, yang ada adalah partai politik murni, yang tujuan utamanya adalah kekuasaan. Oleh karena tujuan utamanya kekuasaan, maka segala macam cara akan ditempuh oleh politisi apapun latar belakangnya, termasuk menjadi seorang politisi yang hipokrit. Tidak ikut dalam money politik tapi ikut memberikan sembako, bagi-bagi makanan, menggaet lembaga cariti sebagai kampanye terselubung. Pasang spanduk dimana, termasuk poster ini itu.

Pasca pemilu 1955, dimana partai Islam atau yang berbasis masa Islam mencapai puncaknya dengan torehan hampir 45% suara, adalah masa gemilang politik agama. Setelahnya, dan sampai saat ini, partai Islam atau yang berbasis masa Islam tidak lagi sejalan dengan rona Islamnya. Yang terjadi malah partai-partai itu menjadikan agama sebagai jualan politik. Politisasi agama namanya.

Praktek hipokrasi ini akan terus terjadi, apapun nama partai politiknya, mau yang berbasis agama, beridiologi agama, atau tidak sama sekali. Karena politik itu sejatinya adalah hipokrasi, bagaimana menipu orang meski harus pura-pura. Kepura-puraan itulah sejatinya jiwa seorang politisi. Dalam sebuah bait lagu, Ahmad Albar pernah menyanyikan bahwa “dunia ini panggung sandiwara”, semua penuh kepura-puraan.

Kini, masyarakat tengah bersiap menjalani proses pemilu yang panjang, 2024 adalah waktu pelaksanaan pemilu secara serentak. Sudah bisa dipastikan agama akan menjadi mainan dan jualan kampanye politisi, dan satu yang harus diingat oleh masyarakat, adanya bahaya HIPOKRASI POLITIK. Prilaku ini sangat berbahaya bagi agama manapun.

Penulis CEO Oerbanesia Cyber Media

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru