email : [email protected]

23.2 C
Jambi City
Minggu, Oktober 6, 2024
- Advertisement -

BIROKRAT HASIL DARI PROSES JAUH DEKAT, KEMUDIAN LAHIR KATA SEPAKAT

Populer

Jambi, oerban.com – Tujuan dari sebuah pemerintahan adalah mensejahterakan masyarakat. Dan indikator yang mudah dilihat untuk menilai sebuah pemerintahan apakah berhasil atau tidak yaitu terletak pada tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintah itu sendiri. Rakyat atau masyarakat akan puas atas kinerja pemerintah tentu setelah melihat bagaimana pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Dapat berupa kebijakan-kebijakan atau program yang di berikan oleh pemerintah dan kemudian berdampak baik pada masyarakat, memenuhi atau memudahkan segala urusan dan kebutuhan masyarakat.

Ujung tombak yang berperan mengeksekusi kebijakan dan program-program dari pemerintah adalah para lembaga birokrasi atau sering disebut birokrat. Para birokrat ini sangat krusial perannya karena dialah mesin pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan. Jalannya roda pemerintahan sangat ditentukan oleh para birokrat. Karena ia adalah gambaran dari citra pemerinthan itu sendiri, jika pelayanan yang diberikan oleh para birokrat itu baik maka citra pemerintah di mata masyarakat dengan sendirinya pula akan baik.

Dengan peran birokrat yang sangat urgen, maka sudah seharusnya sumber daya manusia yang akan menempati lembaga-lembaga birokrasi tersebut telah teruji kualitasnya. Agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan maksimal. Tapi yang terjadi saat ini perekrutan para birokrat bukan berdasarkan aspek profesionalitas melainkan atas aspek kesepahaman. Seolah sudah menjadi budaya dalam sistem pemerintahan kita. Mengandalkan “bargaining power” yang dimiliki oleh kepala daerah terpilih. Sehingga yang direkrut menjadi birokrat hanya cukup dengan melihat seseorang jauh atau dekat dengan dirinya.

Fenomena ini sering juga disebut politik etis atau politik balas budi. Setelah melalui proses politik yang sangat panjang bagi seseorang sebelum menjadi kepala daerah atau kepala Negara. Pasti melibatkan banyak pihak di dalamnya, seperti koalisi parpol, timses dan sebagainya. Tentu pihak-pihak tersebut tidak mungkin berkorban dengan cuma-cuma, mereka mendekati kepala daerah terpilih untuk menempati posisi ideal di pemerintahan. Dengan dalih ia telah ikut serta membantu memenangkannya menjadi kepala daerah. Kemudian lahirlah kata sepakat untuk diangkat menjadi birokrat.

Baca juga  Pembuatan Hydram Berteknologi Hydro Power untuk Mengaliri Sawah Tanpa Listrik dan Ramah Lingkungan di Penyengat Rendah

Bahkan fenomena ini sudah menjamur sampai ke tingkat level pemerintahan terendah yaitu pemerintahan desa. Ketika seorang kepala desa telah terpilih, masyarakat sudah bisa menebak siapa saja yang akan menjadi pejabat desa yang akan direkrut. Tentu orang-orang terdekatnya yang dipilih untuk mengisi struktur pemerintahan desa. Mulai dari sekertaris desa, kaur, dan sebagainya. Padahal orang tersebut belum tentu kompeten dibidangnya, sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak akan optimal. Karena pemilihannya tidak berdasarkan profesionalitas tapi karena aspek kesepahaman, hanya yang se-ide atau sepemikiran dengannya.

Bagaimana suatu daerah atau Negara akan maju, jika para birokratnya tidak sesuai dengan bidangnya. Seperti misalkan ada seorang kepala dinas kelautan dan perikanan namun ia adalah seorang sarjana agama. Tentu background keilmuannya jauh dengan instansi yang ditempati. Bukan pada prinsip “The right man on the right place”. Sudah dapat dipastikan ia tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan optimal. Sehingga berujung pada serapan anggaran daerah yang tidak memuaskan. Karena banyak program yang tidak terlaksana, tentu akibat dari tidak kompetennya seorang birokrat. Minimnya ide, terobosan atau gagasan dan kreativitas dalam menjalankan program ataupun kebijakan.

Itulah akibat jika perekrutan birokrat berdasarka aspek kesepahaman bukan berdasarkan aspek profesionalitas dan kompetensi. Gusdur pernah menjuluki hal itu dengan istilah “politik ngaco”. Lebih cenderung bernuansa politis dalam pemilihan anggota instansi pemerintahan. Dengan cara-cara yang demikian maka akan membuka celah pelanggaran pada birokrat itu sendiri. Rentan akan praktek KKN, dan kinerja yang tidak optimal atau lebih dikenal dengan istilah asal bapak senang.

Namun beberapa tahun belakangan, terlihat pemerintah sedang getol-getolnya berbenah untuk merubah hal-hal tersebut. Misalnya dengan dilaksanakannya tes secara online dalam perekrutan Aparatur Sipil Negara ataupun PNS. Dengan dilaksanakannya tes secara online berharap akan menutup celah adanya praktik KKN didalamnya. Akan semakin kompeten dan transparan proses yang dilalui. Sehingga diharapkan hasil yang akan didapat adalah sumber daya yang benar-benar mampu secara kualitas dan professional pada bidang keilmuannya. Dengan demikian tujuan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat akan lebih bisa terealisasi.

Baca juga  Rakernas FP BEM SI, Saatnya Perempuan Berperan untuk Perbaikan Peradaban

Jika di Negara Singapura, solusi yang dipilih yaitu dengan mendikotomikan antara politik dan lembaga birokrasi. Birokrat hanya khusus mengurusi birokrasi saja, ia tidak boleh ikut berkecimpung dalam dunia politik. Agar tujuan dan fungsi birokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga tidak condong menjadi alat politik penguasa. Oleh karena itulah, Negara Singapura sangat terkenal akan pelayanan publik yang sangat baik.

Penulis: Bambang Basith (Mahasiswa Ilmu Pemerintah Universitas Jambi)
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru