Oleh: Dorel Efendi
Kota Jambi, Oerban.com – Hari-hari terakhir ini, internal KAMMI cukup dihebohkan oleh persoalan yang terjadi di tubuh gerakannya. Pasalnya, pelaksanaan Muswil (Musyawarah Wilayah) KAMMI Jambi diwarnai intrik yang mengundang kita untuk menaruh perhatian ke sana.
Persoalan yang terjadi ini tidak lain dan tidak bukan perihal pemilihan Ketua Umum PW (Pengurus Wilayah) KAMMI Jambi yang ditandai dengan adanya gerakan kritis dari peserta sidang. Perdebatan tidak hanya terjadi di forum, tetapi di luar forum. Kita bisa menemui percakapan tersebut di berbagai tempat, salah satunya di grup alumni.
Terjadi pro dan kontra terkait hal ini, namun yang kita sayangkan, tidak adanya upaya diskusi yang mencerdaskan kader dalam menyelesaikan problema. Diskusi yang kita temukan di grup alumni misalnya masih sangat destruktif dan jauh dari nilai-nilai perbaikan yang menunjukkan jati diri aktivis gerakan Islam.
KAMMI, sebagaimana yang tertulis dalam visinya dengan tujuan “melahirkan kader-kader pemimpin masa depan” mestinya lebih bisa bijaksana dan jauh dari nilai-nilai otoritarianisme dan anti kritik karena jika suatu saat, kader wadah perjuangan ini diamanahkan memimpin negara bangsa, sudah siap dengan semua dialektikanya dalam melihat heterogenitas ide dan perspektif.
Baca juga: Keluarga Alumni KAMMI Jambi Manifestokan “Dari Jambi untuk Indonesia”
Baca juga: Kepadamu Wahai Aktivis Dakwah Kampus
Persoalan di atas hanya menjadi contoh kecil dari banyaknya persoalan yang mesti diselesaikan dengan baik dalam melangsungkan aktivisme Islam. Dalam artikel ini, saya sengaja membahas KAMMI dalam payung gerakan dakwah kampus karena secara sosial histori dan ideologi, KAMMI menjadi entitas penting dalam wadah besar perjuangan dakwah kampus.
Temu Alumni Aktivis Dakwah Kampus Jambi
Hingga artikel ini ditulis, belum ada kejelasan mengenai kegiatan yang bertajuk temu alumni ini. Tidak ada kerangka acuan kerja yang bisa dipelajari dan poin-poin yang mesti disiapkan untuk dibawa dalam pertemuan tersebut.
Jika kita lihat dalam flayer kegiatan, tema kegiatan pun tidak kita temui. Sehingga kita menjadi bebas menerka ke mana kegiatan ini akan bermuara. Pikiran-pikiran liar kita, bisa jadi kegiatan ini dimunculkan demi berbagai kepentingan sempit dan personal.
Tapi saya yakin, kader aktivis tidak pernah didoktrin untuk suudzhon melihat sesuatu. Asumsi baik saya, kegiatan ini terselenggara sebagai bentuk merespons realitas gerakan dakwah kampus. Tentang mandeknya kaderisasi di kampus, tentang pertarungan ideologi termasuk bagaimana kehidupan alumni pasca kampus.
Karena saya tidak akan hadir dalam pertemuan yang akan berlangsung pada tanggal 1 Juni nanti, saya menuliskan beberapa pandangan saya terkait hal-hal yang mesti dibincangkan dalam pertemuan akbar tersebut.
1. Ke Mana Tokoh Aktivis Dakwah Kampus di Dunia Pasca Kampus?
Saya akan memulai dengan pertanyaan sederhana ini. Gerakan dakwah kampus yang ada di Jambi cukup eksis belas tahun ini. Bahkan di Universitas Jambi, PBM (Partai Bintang Mahasiswa) yang menjadi wadah perjuangan aktivis dakwah kampus sudah memenangkan kontestasi kurang lebih sekitar dua dekade.
Sudah ratusan hingga ribuan tokoh aktivis kampus yang sudah dicetak. Tapi, pada hari ini, kenapa begitu sulit menemukan alumni yang sudah menjadi tokoh di level provinsi apalagi nasional? Kalau pun ada, mungkin satu atau dua orang saja.
Mestinya ada evaluasi besar-besaran terkait hal ini. Para aktivis kampus yang sudah diskusi larut malam hingga pagi, mengadvokasi kepentingan rakyat dan mahasiswa pergi ke mana hari-hari terakhir ini?
Bahkan cukup sulit rasanya kita menelusuri jejak karya intelektual para alumni. Jarang kita menemukan artikel dan pandangan yang bernas terkait berbagai persoalan keummatan. Mungkin banyak yang sudah menjadi pengusaha, ASN, peneliti, tapi lagi-lagi, informasi baik ini tidak sampai dengan mulus ke kader-kader junior yang masih sangat butuh penguatan perspektif keummatan.
Pertanyaan besarnya adalah, apa ada yang salah dengan proses pendidikan politik dan kaderisasi yang terjadi selama ini di kampus? Semoga pertanyaan ini dijawab dalam forum temu alumni nanti.
2. Fokus pada Hal-hal Besar
Saya teringat dengan apa yang disampaikan oleh imam Al-Ghazali. “Anta maa kaifa tufakkir” kamu adalah seperti apa yang kamu pikirkan. Gerakan-gerakan besar, selalu hadir dengan pikiran-pikiran besar. Sedangkan gerakan kerdil selalu mengurusi hal-hal yang kecil.
Jika membaca ulang sejarah gerakan dakwah kampus, kita akan dengan mudah menemukan di berbagai referensi bahwa gerakan dakwah ini menjadi entitas penting dalam sejarah. Lahirnya reformasi dicapai dengan keringat dan darah senior-senior kita terdahulu. Artinya, gerakan dakwah kampus hadir dengan cita-cita besar, cita-cita demokrasi dan keummatan. Lawannya adalah pemerintahan rezim orde baru.
Rasanya pada saat ini, semangat juang itu kian memudar, nyali kita tidak seperti nyali para pendahulu. Mentor saya pernah berkata “gerakan kita dilahirkan untuk menuntaskan berbagai pesoalan serius kebangsaan. Jangan sampai kita mati-matian memperjuangkan kemenangan partai di kampus, tetapi lupa pada substansi gerakan.” Saya cukup lama termenung memikirkan kalimat ini.
Realitas pada hari ini, jarang sekali gerakan dakwah kampus secara terkonsolodasi mengurusi hal-hal besar. Semisal persoalan ketimpangan sosial, terpinggirkannya suku-suku lokal seperti Suku Anak Dalam karena kepentingan kapital, persoalan konflik agraria, perjuangan tersistemasi melawan riba serta persoalan-persoalan lain yang menjerat umat.
Persoalan pandangan ini cukup menjadi persoalan yang serius. Sabagian dari kita mengartikulasikan gerakan dakwah sangat sempit. Jika dari dulu sudah dipersiapkan secara sistematis, maka pada hari ini pasti kita akan menemukan dokumentasi perjuangan kita dalam catatan sejarah Jambi. Kita akan menemukan lahirnya tokoh peneliti, akademisi terkemuka, kepemimpinan politik, hingga praktisi di berbagai hal yang dilandasi dengan Islamic worldview.
Sekarang sepertinya gerakan dakwah tarbiyah mesti membuka diri dan belajar dari organisasi yang sudah mapan dan berpengalaman. Gerakan tarbiyah mesti belajar dari Muhammadiyah yang berhasil dalam merealisasikan nilai-nilai teologis surah Al-Ma’un ataupun model ideologisasi NU yang bisa diterima oleh kalangan menengah ke bawah.
3. Minimnya Keteladanan dan Pincangnya Proses Ideologisasi
Krisis kepemimpinan dan keteladanan menjadi persoalan serius yang mesti dituntaskan dengan cepat. Karena jika tidak, ini akan menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat nanti. Kiblat pendidikan kepemimpinan kepada Rasullullah mesti dikembalikan. Pemimpin yang siddiq, amanah, fathonah dan tabligh adalah sosok yang kita dambakan. Pemimpin yang bisa melihat jauh ke depan dan meramal persoalan.
Beberapa oknum senior dan alumni kadangkala gagal merealisasikan nilai-nilai ini. Kita lebih mudah menemukan senior kita sebagai tokoh political dealer yang pragmatis dibanding political leader yang ideologis.
Di sisi lain, retaknya bangunan ideologis juga bisa dilihat dari banyaknya kader yang tidak merealisasikan nilai-nilai muslim strategis. Pertemuan pekanan dalam format liqo’ ataupun usar banyak tidak terlaksana. Banyak kelompok pekanan yang sudah berjalan lagi bahkan lebih dari satu tahun, murobbi sibuk dengan urusannya, mentee juga demikian. Padahal, di situlah kekuatan gerakan ini. Proses transfer ideologi tidak bisa terjadi jika hal ini tidak terlaksana dengan lancar dan tentu, akan berujung pada banyak.
4. Masjid Sebagai Episentrum Gerakan
Mungkin sebagian dari aktivis dakwah kampus Unja pernah merasakan bagaimana kekuatan masjid begitu kuat. Masjid Al-Ijtihad FKIP misalnya, menjadi poros gerakan yang membuat gerakan hidup dan subur. Jika aktivis sudah dijauhkan dari masjid, maka lihatlah kehancuran.
Jika dilihat dari zaman Rasulullah, masjid adalah episentrum gerakan Islam. Proses pendidikan ada di sana, proses kaderisasi masif terjadi di sana serta aktivitas lain yang menguatkan ummat.
Ketika selesai masa studi, banyak aktivis yang pulang kampung. Ataupun, beberapa aktivis di Kota Jambi tidak merasakan euforia perjuangan yang sama lagi. Sehingga juga berpengaruh di banyak sendi kehidupan dakwah pasca kampus.
Saya mengusulkan, dalam pertemuan alumni ADK nanti, bisa dibahas secara serius masjid mana di Kota Jambi yang bisa digunakan secara rutin sebagai episentrum gerakan. Masifnya gerakan kajian rutin untuk penguatan kapasitas kader. Tidak mengapa dibuat lebih inklusif, asalkan para aktivis pasca kampus tahu ke mana akan pergi jika membutuhkan penguatan ruhiyah dalam membangun gerakan kolektif. Aktivitas di masjid ini juga digunakan untuk kepentingan penguatan keilmuan kader seperti bacaan Alquran, kajian fiqh, siroh dan lainnya.
5. Berlangsungnya Temu Alumni yang Inklusif-Progresif
Kita berharap dalam pertemuan nanti menjadi pertemuan yang bisa menjadi ruang bagi berbagai perspektif. Mungkin ada sebagian yang sudah tidak lagi di barisan, mungkin pula ada yang lemah di sisi ekonomi, maka inilah momentum untuk merangkul dan saling terkoneksi. Yakinkan bahwa cita-cita jauh lebih besar, sehingga dibutuhkan gerakan yang kolektif.
Pertemuan ini diharap mampu membangkitkan kembali semangat kampus yang mungkin sudah hilang di sebagian orang. Mengingatkan kembali, sehingga muncul kesadaran kosmik di hati dan nadi peserta temu alumni. Hal ini penting karena gerakan kecil ini adalah upaya untuk merekonstruksi Jambi dan Indonesia.
Terakhir saya hanya ingin menyampaikan semoga kegiatan ini berlangsung khidmat dan melahirkan diskursus yang kontstuktif. Membaca ulang sejarah dan ilmu pengetahuan, semoga menjadi landasan inspirasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan masa depan.(*)