Kota Jambi, Oerban.com – Hallyu wave atau gelombang budaya Korea yang merebak di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, secara tidak langsung memicu segelintir orang untuk menikmati dan mempelajari beragam budaya yang disajikan dari Korea Selatan mulai dari film, musik, makanan, fashion, dan bahasa. Dari masa ke masa, diketahui banyak sekali kawula muda yang menggandrungi jenis musik pop yang berdetak dari Korea Selatan, yakni K-Pop.
Sayangnya, banyak pula penggemar K-Pop yang mengidolakan bintang idolanya secara berlebihan dan melampaui batas kewajaran atau biasa disebut dengan celebrity worship syndrome.
Celebrity worship syndrome adalah suatu fenomena di mana seseorang dianggap secara keseluruhan menjadi maniak yang terobsesi dengan satu atau lebih figur selebriti. Pemujaan terhadap idola juga merupakan sebuah sindrom perilaku obsesif adiktif terhadap artis idola dan segala hal yang berkaitan dengan artis tersebut. Para ahli juga memaknai celebrity worship sebagai hubungan imajinasi semu satu arah yang dibangun oleh seorang penggemar terhadap idolanya sehingga menjadikan penggemar tersebut tergila-gila pada idolanya—atau pada masa kini, hal inilah yang orang-orang definisikan sebagai ‘halu’.
Paul Booth, editor buku A Companion to Media Fandom and Fan Studies, memberikan seuntai ungkapan yang menggambarkan proses psikologis yang terjadi saat seseorang menyukai atau mengidolakan sesuatu: “when fans love a movie, book, or television show, they often to take an active role in connecting with that world and characters (or actors) in it” atau “ketika seseorang mencintai film, buku, atau suatu acara televisi, mereka akan sering mengambil peran dalam berkoneksi dengan karakter atau aktor di dalamnya”.
Secara nyata, ungkapan tersebut dapat dimanifestasikan dalam beberapa perilaku atau kebiasaan, contohnya penggemar rela menghabiskan waktu demi mengoleksi informasi dan foto-foto terbaru idolanya; berkoar-koar seperti sedang berorasi di media sosial untuk memberikan dukungan, terlebih jika terjadi perang dingin antara dua atau lebih kubu fandom untuk membela idolanya; berambisi membeli album, lightstick, photocard, dan berbagai merchandise berbau idolanya sehingga memicu timbulnya perilaku impulsive buying atau konsumerisme; merasa euforia saat memperkenalkan atau membicarakan idolanya dengan orang lain; atau menjadi sangat marah dan dapat berperilaku agresif jika ada yang menghina sang idola.
Tak jarang pula, ada penggemar yang mengharu-biru berkepanjangan jika idolanya hendak berangkat wajib militer, didera suatu permasalahan maupun skandal, atau memutuskan hengkang dari grup musik yang menaunginya. Pun sering ditemukan penggemar yang begitu berang, cemburu buta, dan sampai-sampai berbuat hal nekat yang sangat jelas melanggar susila atau menyakiti diri sendiri (self-injury) seperti menyayat tangan dengan pisau untuk mengukir nama idolanya ketika sang idola dikabarkan tengah dating alias berkencan, atau bahkan menikah, wah ngeri yah.
Menurut Maltby, dkk (2011), tingkat celebrity worship pada seseorang dapat terbagi tiga yakni: tingkat hiburan sosial, tingkat perasaan personal yang intens, dan tingkat gangguan patologi, yang mana ketiga tingkatan ini dapat diijelaskan sebagai berikut.
Tingkat hiburan sosial digambarkan dengan aktivitas pencarian seorang penggemar tentang kabar dan informasi sehari-hari apapun yang menyangkut idolanya secara proaktif hingga menguras waktu sebagai bagian kegemaran atau hiburan yang dianggap sebagai suatu hal yang menyenangkan. Selain itu, hiburan sosial juga dideskripsikan dengan aktivitas di mana beberapa orang penggemar yang mengidolakan selebriti serupa saling mengobrol dan berbincang-bincang tentang idola mereka tersebut, tanpa mengingat waktu dan dibarengi oleh perasaan yang menggebu-gebu.
Tingkat perasaan personal yang intens terkait dengan perasaan emosional, terutama perasaan empati yang teramat dalam, sehingga apa yang terjadi dan apa yang dirasakan idolanya dapat merasuk ke dalam diri penggemar tersebut, sehingga sang penggemar dapat membayangkan apa yang mungkin dirasakan sang idola sesungguhnya. Pada tahap ini, penggemar rela mengorbankan apapun, seperti waktu, tenaga, dan materi untuk idolanya.
Sedangkan gangguan patologi adalah tingkat yang paling berbahaya, di mana seorang penggemar menjadi siap sedia melakukan apapun demi sang idola walaupun bila hal tersebut melanggar hukum dan moral. Pada tingkat ini, penggemar mampu berkelana dalam alam fantasinya yang tak terkontrol, berimajinasi irasional bahwa ia memiliki keterikatan khusus dengan sang idola, pun yakin jikalau sang idola akan datang menolongnya apabila ia sedang butuh bantuan dan terkungkung dalam kesusahan.
Dilansir dari Health.detik.com, celebrity worship ini berpotensi melahirkan sikap fanatisme terhadap sang tokoh idola, di mana seorang penggemar akan sangat mengagungkan tokoh idolanya dan merendahkan selebriti lain yang dianggap sebagai pesaing.
Seorang psikiater dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dr. Azimatul Karimah, Sp.KJ, mengungkapkan apabila seseorang telah menganggap idolanya secara emosional sebagai bagian dari dirinya, kemudian merasakan kemarahan, kesedihan, dan kecemasan yang mendalam saat idolanya mengecewakan dirinya atau tidak sesuai dengan harapannya, seperti misalnya bila sang idola dikabarkan berkencan atau akan menikah, dapat disimpulkan bahwa kondisi seseorang tersebut tidak sehat lagi. Menurutnya, hal seperti ini telah sampai pada tahap masalah kejiwaan, di mana bukan tidak mungkin seorang penggemar akan mengalami gangguan mental seperti gangguan kecemasan, depresi, dan sebagainya.
Tak hanya sampai pada gangguan psikologis, celebrity worship mengakibatkan imbas negatif lainnya, seperti kinerja belajar individu menjadi buruk, rendahnya harga diri, dan kesulitan dalam menemukan jati diri (Sheridan dkk, 2007). Selain itu, bagi pelajar, celebrity worship sangat berpengaruh bagi proses belajar mereka, dimulai dari hasrat belajar yang menurun, degradasi kinerja belajar, dan kemerosotan prestasi.
Sahabat, sebenarnya sah-sah saja menyukai atau memfavoritkan seorang figur publik seperti selebriti, asal tetap dalam batas yang normal dan sehat, ya.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini