email : [email protected]

25.6 C
Jambi City
Jumat, Maret 29, 2024
- Advertisement -

Diplomasi Presiden Jokowi di Tengah Kebuntuan

Populer

Oleh: Hendri Yandri *

Kedatangan presiden Jokowi ke Kyiev ibukota Ukraina ditengah kecamuk perang membuat kagum berbagai kalangan sebab Jokowi sedang mempertaruhkan nyawanya. Tidak hanya itu, presiden Jokowi juga membawa serta Ibu Negara Iriana mendampingi perjalan penuh resiko itu. Ini bukanlah satu keberanian tapi satu kenekatan, karena taruhannya sangat besar. Namun itu dilakoni oleh presiden demi satu misi yakni munculnya semangat perdamaian. Kekaguman itu tentu saja punya banyak alasan, satu diantaranya adalah satu-satunya kepala negara di Asia yang berani menginjakkan kaki disaat invasi dan perperangan masih berlangsung. Sebagai kepala negara dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar, luas negara yang juga besar, menjadikan posisi Indonesia punya bargaining yang bagus. Jokowi secara tidak lansung ingin memberikan pesan kepada dunia, bahwa Indonesia bisa memainkan peran lebih besar dalam percaturan politik dunia, dan ini akan dimulai dari krisis Rusia-Ukraina.

Menjadi mediator atas krisis Rusia-Ukraina ini jelas tidak mudah, apalagi Jokowi baru pertama kali memainkan peran diplomasinya dikancah internasional. Rekam jejak Jokowi dalam mendamaikan sengketa antar negara memang belum pernah ada, akan tetapi memulai dari sekarang adalah momen yang tepat. Peran mediator memerlukan keberanian, kecekatakan dan kecerdasan serta tidak memihak pada salah satu pihak. Gambaran susahnya mendamaikan kedua negara bisa dilihat dari usaha presiden Turki, bagaimana susahnya seorang Erdogan meyakinkan kedua negara yang sedang bertikai, padahal ketiga negara mempunyai hubungan yang sangat baik.

Kini sudah hampir 130 hari sejak Rusia menginvasi Ukraina namun usaha Erdogan itu belum ada tanda-tanda berhasil. Data masing-masing pihak telah merilis, Ukraina dikatakan kehilangan pasukan hampir 40.000 orang, sementara Rusia juga kehilangan banyak tentara. Kerusakan insfastruktur tidak bisa dihitung, jumlah pengungsi mencapai lima juta jiwa. Data ini tentu saja masih bias, sebab tidak ada yang tahu pasti berapa angka sebenarnya. Itulah salah satu sebab kenapa seorang Erdogan begitu susah untuk memediasi kedua negara.

Baca juga  2 Tahun Jokowi-Ma'ruf, PKS Beri Rapor Merah di Bidang Energi

Jokowi datang dengan pengharapan yang sama, yakni bagaimana mampu menjadi mediator kedua negara sehingga perang bisa diakhiri. Angka diatas sebagai landasan berfikir bagi presiden Jokowi ketika berniat menjadi mediator, sebab luka yang ditimbulkan oleh perang tidak saja luka fisik namun juga luka psikis dan itu memerlukan waktu yang panjang untuk mengobatinya. Jika Jokowi berhasil atau katakanlah mampu melunakkan hati kedua pemimpin, maka tingkat diplomasi presiden Indonesia berada dipapan atas sekaligus dapat dijadikan panutan. Akan tetapi melihat data yang tersaji, agak sulit rasanya bagi seorang presiden Indonesia yang baru pertama kali terjun dalam misi diplomatik berhasil mendamaikan kedua negara bertikai, seperti menempuh jalan buntu.

Jalan buntu yang dihadapi presiden Jokowi ketika menemui kedua kepala negara Rusia-Ukraina butuh satu keajaiban. Keajaiban itu bisa saja datang dari track record Indonesia sebagai negara yang sangat dihargai dibeberapa wilayah konflik. Taruhlah misalnya negara-negara Afrika, dimana para penjaga misi perdamaian Indonesia yang tergabung dalam pasukan misi perdamaian selalu menjadi terbaik dan begitu dihargai oleh masing-masing pihak. Belum lagi sejarah panjang Indonesia dimasa pergolakan sampai perang dingin, posisi Indonesia begitu menentukan dan punya catatan sejarah yang baik dengan negara bekas Uni Soviet tersebut.

Kini tinggal menunggu hasil, sebab misi diplomasi yang dibawa oleh presiden Jokowi tidak sekedar soal pengehentian perang, namun juga tentang misi keamanan pangan yang menjadi hantu menakutkan bagi semua negara. Jika Jokowi berhasil, maka bukan hanya perang yang selesai, tapi juga mampu menyelamatkan dunia dari krisis pangan global karena Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum terbesar yakni 30% dari kebutuhan dunia. Belum lagi ketersediaan sumber energi, dimana Rusia adalah negara penyuplai terbesar gas bagi Eropa.

Baca juga  Tinjau Vaksinasi Di Bali, Presiden Jokowi Berharap Pariwisata Bangkit

Mudah-mudahan kebuntuan diplomasi atas perang Rusia-Ukraina ini bisa didobrak oleh presiden Jokowidodo. Semoga!

*Penulis Widyaiswara Kementerian Pertanian RI

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru