email : [email protected]

23.5 C
Jambi City
Jumat, Oktober 11, 2024
- Advertisement -

HUJAN SENJA

Populer

Oleh : Hayana Muslimah

Sore itu langit tampak murung. Meneteskan satu persatu air matanya. Membasuh muka aspal jalan nan hampa. Jejalanan yang tadinya ramai seketika lansung lengang. Orang-orang yang tadinya berjalan meneduh ke pinggiran. Menatap hujan berharap segera berhenti. Ditepi jalan disebuah toko roti bakar, aku duduk merenung memandang rintikan hujan yang membasuh jejalanan lengang itu. Aku menunggu langit berhenti bersedih. Tapi tampaknya langit terlalu banyak menanggung beban, hingga tak cukup waktu sore ini baginya untuk meluapkan keluh kesahnya. Hatiku sedikit resah menanti hujan, sebab senja telah bersiap menyapaku.

Dalam keresahanku menatap langit dan jalanan nan hampa itu. Aku memandangi orang-orang yang ikut berteduh lainnya bersamaku. Mereka asyik bermain handphone mereka masing-masing. Lebatnya hujan tak lagi mereka hiraukan. Teriakan petir meminta perhatian tak lagi jadi gangguan. Mereka telah meninggalkan dunia nyata dan hidup di dunia maya.

Tapi ada satu hal lagi yang miris bagiku. Anak-anak kecil itu, mereka yang ikut menanti hujan dengan handphone. Seingatku, sewaktu kecil hujan adalah waktuku berbahagia. Waktu dimana aku dan teman-temanku tertawa. Waktu dimana kami berlarian bersama rintikan hujan. Kami tak menghiraukan hardikkan ibu yang mencemaskan kami akan demam. Tapi entah mengapa, hujan yang mengenai setiap kulit lembut kami terasa begitu menyenangkan. Hujan seolah layaknya air yang turun dari khayangan dan siap membawa kami berpetualang ke imajinasi kami masing-masing. Anak kecil dan orang dewasa menerjemahkan hujan dengan cara yang berbeda. Sekarang aku menerjemahkan hujan sebagai bentuk dari kesedihan langit, tapi dulu saat kanak-kanak tidak.

Bagi kami hujan sebagai bentuk langit berbaik hati mencurahkan air nya yang datang dari khayangan itu. Dunia anak kecil selalu penuh dengan kesenangan, keceriaan, tawa, dan khayalan membahagiakan.

Tapi kenapa anak-anak saat ini bersikap seperti orang dewasa. Menanti hujan dengan handphonenya. Menerjemahkan hujan sebagai bentuk penghalang dan kegundahan. Mengapa anak-anak itu tak menatap langit sebagai bentuk keceriaan. Tapi mereka menundukkan kepalanya pada mesin persegi empat aneh itu. Aku melihat mereka miris, prihatin. Sayang sekali jika mereka tak pernah merasakan bagaimana itu rasanya mandi hujan, berlarian ditengah hujan dan berpetualang dalam derasnya hujan. Mereka benar-benar tak akan pernah merasakan apa itu hidup.

Kehidupan mereka sangat membosankan. Meski pun sebenarnya aku harus jujur, ada satu pengalaman kecilku yang tak dapatku lupakan tentang senja dan hujan ini.

Ketika itu umurku 8 tahun, baru saja naik kelas dua SD. Aku dan temanku satu SD, kami berteman amat dekat semenjak TK. Namanya Riri, Luna, dan Lira. Mereka sahabat karibku. Rumah kami pun tak terlalu berjauhan. Masih satu komplek, dan ibu kami pun saling berteman satu sama lain. Hal ini membuat kami selalu bersama dalam hal apapun, seperti pergi sekolah bersama, pulang sekolah bersama, bermain bersama, kemana pun bersama. Dan juga saat zamanku itu belum ada penghalang terbesar kami untuk bersama yaitu handphone. Sehingga saat berkumpul bersama tak ada satu detik waktupun bagi kami untuk saling beracuhan dan disibukkan oleh handphone. Permainan kami pun tentunya berbeda dengan permainan anak-anak sekarang. Memang tidak canggih dan sangat tradisional, tapi permainan itu mempunyai kebahagiaannya tersendiri. Ohh… hujan telah membuatku bernostalgia ke masa kecilku. Masa yang indah, yang penuh keceriaan tidak seperti sekarang ini.

Hujan masih turun menyusul bumi. Pikiranku bertambah-tambah menggali kenangan masa kecil ku. Aku masih belum ke-inti cerita, sebab terlalu banyak kisah kecilku yang membahagiakan membekas di ingatanku. Dan jika kuceritakan semua tentulah habis kertas-ketas menampungnya. Namun hujan sore ini mengingatkanku akan satu kejadian. kisah itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sore itu tanggal dua juni dua ribu tujuh. Sore yang tak biasanya. Sore yang meninggalkan bekas kenangan abadi di benakku. Tak ada yang istimewa dari sore itu. langit masih dengan warna yang sama. Namun sore itu tersaji dengan kisah yang berbeda. Saat itu aku bermain petak umpet bersama temanku.

Kalau didesaku permainan itu dinamakan “main poncet”. Prosedur permainannya sama persis dengan petak umpet, dimainkan oleh tiga orang atau lebih. Seorang diantaranya yang kalah akan menjadi penjaga sedangkan yang lain bersembunyi. Lalu sipenjaga akan menutup matanya pada sebuah tiang sambil meghitung hingga semua pemain lain telah bersembunyi. kemudian sang penjaga akan mencari mereka yang bersembunyi tadi sambil menjaga tiangnya agar tidak disentuh oleh pemain lain. Pemain yang bersembunyi akan mencuri kesempatan menyentuh tiang penjaga jika sang penjaga meninggalkan tiangnya. Menyentuh tiang harus disertai teriakan “poncet”, jika tidak maka dianggap kalah. Karena itulah permainan ini dinamakan main poncet.

Permainan tersebut termasuk permainan yang paling aku sukai. Jika tengah sedang bermain, kami sering lupa waktu olehnya. Didesaku, ada mitos yang mengatakan permainan tersebut tak boleh dimainkan hingga hari senja. Jika kita bermain hingga senja maka kita bisa diculik atau disembunyikan hantu. Aku tak percaya mitos itu. Ya maksudku, permainan ini sangat menyenangkan.

Dan dari aku kecil aku tak pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, dimana seseorang disembunyikan hantu. Itu hanyalah mitos, khayalan yang digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Hari itu kami kecanduangan bermain. hingga buat kami lupa waktu.

Sore telah menjelang senja, tapi permainan ini tiada ujungnya. Semangat masih memburu kami. Lelah adalah kata yang tak kami kenal. Namun sore ini ditemani gemiris pula.

“Ayo kita pulang, sebentar lagi akan segera senja dan hujan telah mulai merintik”, kata Riri.
“Ini masih gerimis dan kalau senja memangnya kenapa?”, ucapku.
“Kita semua tau apa yang akan terjadi”, balas Luna.
“Maksudmu mitos itu, ayolah kawan-kawan itu hanya mitos. Mitos tak pernah menjadi kenyataan. Mitos hanya digunakan oleh orang-orang tua untuk menakut-nakuti kita”, jawabku tangkas.
“Benar juga”, ujar Lira.
“Jangan bilang kau hanya mencari alasan, sebab kau yang menjadi penjaganya”, sambungku mengakali mereka agar tetap ingin bermain.
“Tidak, aku tidak bermaksud begitu”, tangkas Riri.
“Benar juga apa kata Sasa, jangan-jangan kau tak mau jadi penjaga. Itu curang namanya”, balas Lira.
“Yang benar saja kau bilang aku ini curang. Baik kalau kalian bilang begitu. Ayo kita lanjuti satu putaran permainan lagi”, geram Riri membalas sangkaan kami.

Segera saja permainan dilanjutkan. Lalu Riri pun menghitung, sedang kami bersembunyi. Aku bersembunyi memisahkan diri dari teman-temanku. Sebab aku tau betul tempat persembunyian paling mujarab. Dan tak satu pun dari mereka mengetahuinya. Sebab inilah tempat rahasiaku untuk memenangkan permainan ini.

Tempatnya tak terlalu jauh dari tempat Riri berjaga, namun benar-benar strategis untuk mencuri kesempatan. Saat tengah bersembunyi, tiba-tiba ibuku muncul menjeputku untuk pulang. Aku tau ini akan terjadi. Sebab ibuku paling protektif dibanding ibi-ibu lainnya.

Ibuku paling mencemaskanku sebab aku ini anak tunggalnya. Jadi aku diperlakukan amat manja, meskipun aku sebenarnya tidak menyukai perlakuan tersebut. Perlakuan ibu membuatku terbatas melakukan segala hal yang ku sukai. Misalnya saja tidak boleh main terlalu jauh, tidak boleh makan es, tidak boleh bermain hingga senja juga termasuk salah satu larangan ibu. Ibu selalu saja menakut-nakuti aku dengan mitos yang telah menyebar di seantero desaku itu. Aku tak percaya mitos dan tak suka dibatasi begini. Aku ingin melakukan segala hal yang kuinginkan. Begitulah sifat kanak-kanakku amat suka berpetualang. Imajanisiku tak ada habisnya. Tapi semenjak hari itu, aku tau ada hal-hal yang harus dibatasi dan ada hal-hal yang harus dipercaya.

Riri masih menghitung. Ibu sibuk pula meneriaki namaku dari ujung jalan itu. Takut ketahuan dari tempat persembunyian, segera saja aku susul ibu.
“Ya aku disini bu, satu putaran lagi kami akan pulang bu, ku mohon”, sahutku pada ibu untuk menghentikan teriakannya itu. Tapi ibu tetap menjangkau tanganku, menarik memaksaku pulang. Keadaan ini membuatku hanya memiliki dua pilihan antara meneriaki teman-teman untuk memberhentikan permainan karena aku segera pulang atau tidak mengacaukkan jalannya permainan tapi aku pulang tanpa berpamitan. (bersambung)

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru