Oleh: Syafuri Aji
Oerban.com – Hari Raya Idulfitri bukan sekadar momen kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Lebih dari itu, Idulfitri adalah simbol penyucian diri dan momentum untuk mempererat tali persaudaraan antarsesama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun sebagai bagian dari bangsa yang besar dan majemuk.
Seperti disampaikan dalam khutbah Idulfitri, bulan Ramadan mengajarkan kita tentang pengendalian diri, kepedulian sosial, serta penguatan nilai spiritual. Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari perbuatan tercela seperti berdusta, menggunjing, atau menipu. Setelah menjalankan puasa dengan penuh kesabaran dan ketulusan, umat Islam dihadapkan pada ujian sejati: apakah nilai-nilai tersebut tetap melekat dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadan berlalu?
Salah satu wujud nyata keberhasilan Ramadan adalah pelaksanaan zakat fitrah. Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyempurnaan ibadah puasa dan wujud kepedulian terhadap kaum dhuafa. Kewajiban ini membuktikan bahwa Islam menekankan solidaritas sosial. Dalam konteks kebangsaan, zakat fitrah juga dapat dimaknai sebagai ajakan untuk meningkatkan kesadaran berbagi, sehingga kesenjangan sosial berkurang dan keharmonisan masyarakat terjaga.
Lebih dari sekadar amalan individual, Idulfitri mengandung pesan kolektif yang kuat. Dalam suasana perayaan ini, umat Islam dianjurkan saling memaafkan dan mempererat ukhuwah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat ini bisa menjadi modal sosial berharga. Perbedaan pandangan dan kepentingan di masyarakat harus disikapi dengan semangat persatuan, bukan kebencian atau permusuhan.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Pesan ini menegaskan bahwa keimanan berkaitan erat dengan interaksi dan perlakuan terhadap sesama. Di era penuh tantangan ini, di mana perpecahan sosial kerap muncul akibat perbedaan ideologi dan politik, Idulfitri dapat menjadi momentum refleksi bersama untuk menguatkan kebersamaan.
Idulfitri juga momen penting untuk melawan kezaliman sosial. Dalam khutbah disebutkan bagaimana setan berupaya menyesatkan manusia pasca-Ramadan dengan membiarkan mereka terjerumus kembali dalam hawa nafsu. Ini adalah peringatan agar kita tidak lengah dan tetap mempertahankan ketakwaan serta keadilan dalam keseharian.
Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia membutuhkan lebih banyak momen penguat persaudaraan. Idulfitri adalah salah satunya. Dengan semangat saling memaafkan dan berbagi, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, toleran, dan empatik.
Pada akhirnya, Idulfitri bukan hanya tentang kemenangan melawan hawa nafsu, tetapi juga kemenangan dalam menjaga persatuan serta membangun kehidupan lebih baik. Semoga kita semua mampu menjadikan Idulfitri sebagai awal baru untuk menebar kebaikan dan memperkuat persaudaraan, baik dalam lingkup agama maupun kehidupan berbangsa.