Oleh : Hendri Yandri *
Mestinya teriakan itu tidak keluar agar situasi kondusif, apalagi kita sudah lama tidak menyaksikan kompetisi antar klub akibat corona di republik ini. Tapi semarak pertandingan itu berubah menjadi petaka yang merenggut ratusan nyawa anak manusia, satu bangsa dan satu negara. Kata hujat dan amarah jelas bukan budaya, karena memicu sengketa kata yang sama yakni serapah tak berarah. Begitulah jadinya, korban berjatuhan, lebih 130 orang meninggal sia-sia, ratusan sedang berjuang penuh luka. Kanjuruhan berubah jadi petaka dari apa yang disebut duka cinta kita. Sejatinya sepak bola adalah kita, jiwa kita, sekaligus harga diri kita. Meski begitu tidak semestinya pertandingan itu berubah menjadi amuk dan amarah, siapa saja paham betul bahwa kita sudah lama tidak rusuh, sepak bola kita juga sudah lumayan baik, tapi kenapa peristiwa miris itu terulang kembali.
Kini nasi sudah jadi bubur, aparat jelas punya argumentasi tentang kejadian ini, sementara korban dan keluarga korban juga punya alasan yang masing-masing punya landasan. Maka olah TKP mesti dilakukan agar jelas dan terang apa dan bagaimana awal mula peristiwa berdarah itu dimulai dan agar tidak terjadi peristiwa serupa. Kompetisi mesti dihentikan, panitia harus melakukan evaluasi, pihak penyelenggara juga dievaluasi, protap pengamanan dan pihak kepolisian juga dievaluasi. Presiden jelas memberikan arahan agar Kapolri melakukan pengusutan perisitiwa ini secara tuntas. Arahan ini tentu saja bukan untuk Kapolri, tapi juga untuk semua pihak yang terlibat.
Duka ini jelas membuat dunia persepakbolaan Indonesia tercoreng, satu perisitiwa yang semestinya tidak perlu terjadi. Amarah dan amuk masa jelas bukan saja merugikan mereka yang terlibat angkara, tapi juga merugikan penonton lain yang datang hanya sekedar mendukung klubnya, atau bahkan mereka yang sama sekali betul-betul untuk mencari hiburan pasca pandemi corona.
Setiap kali terjadi rusuh, pasti ada korban. Meskipun dalam keterangan persnya Kapolda Jatim menegaskan bahwa banyaknya korban bukan akibat bentrok antar suporter tapi karena sesak nafas dan terinjak. Tetapi dalam perisitiwa apapun, jika masa sudah panik tentu tidak lagi berfikir rasional, entah karena berdesakan ataupun sesak nafas akibat gas air mata atau karena terinjak jelas semua itu adalah satu peristiwa rusuh dan itu pasti memakan korban.
Mestinya pengalaman panjang sepakbola Indonesia mampu menjadi pelajaran bagi semua pihak, tentang bagaimana beringasnya aksi supporter antar klub yang bahkan terjadi hampir disetiap kompetisi. Dan beberapa waktu belakangan sudah mulai hilang sehingga sepakbola begitu friendli bagi siapa saja, apakah kalangan wanita, anak-anak bahkan orang tua. Tapi kini perisitiwa kelam itu berulang, meski bukan antar suporter tapi tetap saja ada api yang memulai membakar.
Nafas kita menjadi sesak, sesesak peristiwa kelam yang terjadi. Apapun ceritanya, permusuhan, amarah, dendam dan sejenisnya hanya menghilangkan kedamaian abadi. Jadikanlah Kanjuruhan sebagai pijakan awal untuk mendatang cinta sesama anak manusia. Semoga!
Penulis CEO Oerbanesia Cyber Media