Kota Jambi, Oerban.com – Sahabat, tentu kita tahu bahwa karakter tiap orang berbeda, termasuk kemampuan dalam menghadapi dan menyikapi suatu permasalahan atau hambatan yang disebut dengan adversity quotient.
Ada orang yang ketika diterpa suatu masalah, dirinya larut dalam keterpurukan. Ada juga orang yang butuh waktu untuk bangkit atau beresiliensi. Pun ada juga orang yang tahan banting. Atau ketika menjumpai suatu persoalan, ada orang-orang yang memilih untuk menghindar, memilih untuk diam saja tanpa melakukan apapun alias pasrah dengan keadaan, ada juga orang yang berusaha menghadapinya dengan tegar dan berusaha menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik.
Adversity quotient merupakan bagian dari gugusan kecerdasan. Mungkin kita telah sering mendengar kata intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ). Namun sebenarnya, masih banyak loh, jenis kecerdasan yang lain. Salah satunya adversity quotient atau yang biasa disingkat AQ ini.
Paul G. Stoltz merupakan ahli yang mempelopori konsep adversity quotient ini. Menurutnya, definisi adversity quotient ini dapat dijabarkan menjadi dua pemaknaan yang saling terhubung, berkesinambungan, dan tak terpisahkan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memaknai, menghadapi, dan mengatasi suatu permasalahan atau kesulitan yang dihadapi, serta kemampuan untuk mengolah, mengelola, serta menjadikan permasalahan atau kesulitan menjadi sebuah kesempatan untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mendewasakan dirinya dalam berjuang mencapai kesuksesan.
Menurut Stoltz (2000), terdapat tiga tingkatan adversity quotient, dari level daya juang terendah hingga daya juang tertinggi, yaitu:
Quitters
Quitters atau sebutan lainnya adalah ‘orang-orang yang berhenti’ merupakan level terendah dari adversity quotient. Quitters adalah orang-orang yang memilih berhenti dan mundur tatkala menghadapi kesulitan, serta menghindari, mengelak, dan lari dari masalah. Individu jenis ini juga mudah merasa pesimis serta gampang menyerah, yang mana berpotensi membuat dirinya kehilangan peluang-peluang berharga dalam hidupnya. Selain itu, quitters juga merupakan orang-orang yang merasa tidak berdaya dan menganggap kesulitan sebagai suatu penghalang yang menyusahkannya untuk maju dan tidak mau mencoba memecahkan masalah.
Campers
Campers atau nama lainnya adalah ‘orang yang berkemah’ adalah level kedua dari adversity quotient. Campers disebut juga sebagai ‘satis-ficer’ yang berasal dari kata satisfied atau ‘puas’ dan suffice atau ‘mencukupi’. Campers adalah individu yang merasa puas dengan kecukupan yang dimiliki dirinya tanpa memiliki keinginan untuk mengembangkan diri. Individu jenis ini mau menghadapi tantangan, namun ketika tiba pada suatu pencapaian tertentu, ia berhenti walaupun ada peluang untuk mengembangkan dirinya lebih jauh, yang mana jika diibaratkan, campers hanya selalu ingin bertahan pada zona nyaman.
Campers enggan untuk melangkah lebih jauh dari zona nyamannya karena mereka khawatir apabila kehilangan kenyamanan tersebut dan ragu akan mendapatkannya di tempat lain. Orang-orang yang berada pada level campers tidak mengharapkan hasil yang cemerlang. Berada pada batas rata-rata saja sudah sangat cukup bagi mereka. Salah satu contohnya sering ditemui di sekolah atau perkuliahan. Ada tipikal individu yang jika mendapat nilai rata-rata, ia akan merasa puas dan menolak untuk berusaha lebih jauh lagi. Mereka menyatakan bahwa, “aih, jadilah dapat nilai segini,” dan merasa tidak mungkin akan mendapat pencapaian yang lebih dari apa yang berhasil ia capai hari ini.
Climbers
Climbers adalah level tertinggi dalam adversity quotient. Climbers atau disebut juga dengan ‘orang yang mendaki’ adalah individu yang optimis, peka, mampu membaca dan memanfaatkan peluang sekecil apapun, dapat menemukan harapan dalam situasi yang begitu menekan, militan, serta senantiasa memiliki semangat dan keberanian yang kokoh untuk melangkah maju, menghadapi kesulitan, dan menyelesaikan tantangan.
Individu tersebut tidak pernah berhenti mengembangkan diri dan selalu bergairah meraih hasil positif yang lebih dari apa yang dicapainya hari ini. Climbers tidak takut bermimpi, tidak takut mengambil langkah, tidak takut menghadapi risiko, dan tidak takut berjuang, walaupun ia tak dapat memastikan apakah hasilnya sesuai dengan apa yang ia dambakan atau justru sebaliknya di depan nanti.
Namun, dibandingkan memikirkan hasil apa yang akan ia peroleh di penghujung kelak, climbers lebih mementingkan seberapa besar perjuangannya. Ia percaya bahwa hasil takkan mengkhianati usaha. Meski mungkin hari ini ia belum mendapat hasil yang ia harapkan, ia percaya, pada waktu yang terbaik, ia akan meraih pencapaian tersebut, atau bahkan jauh lebih baik dari yang ia harapkan, sepadan dengan usaha yang dilakukannya.
Climbers menganggap kesulitan adalah kerikil-kerikil kecil yang dihadirkan dengan maksud yang baik, yakni untuk mendewasakan dirinya sehingga ia akan menjadi orang yang jauh lebih baik dan kuat dibanding sebelumnya. Climbers merupakan orang yang pemberani dan tidak takut jatuh, karena ketika ia jatuh, ia akan bangkit lagi dengan lebih tegar.
Setiap orang tidak pernah dijamin untuk selalu berjalan di lajur yang mulus hingga tiba di tujuan tanpa luka atau langkah yang terseok-seok. Namun, climbers adalah orang yang tidak pernah memilih mundur atau stagnan sebagai jalan keluarnya. Satu-satunya jalan keluar bagi climbers adalah: keluar sebagai seorang pemenang.
Nah, jadi Sahabat, dari ketiga level adversity quotient ini, yang mana yang kamu banget? Artikel ini ditulis dalam rangka untuk membantu Sahabat memahami diri sendiri. Ayo, lebih pahami kemampuan dirimu sendiri, sehingga dengan demikian, kamu bisa membenahi diri menjadi jauh lebih baik. Tetap semangat berjuang and be a climber ya, Sahabat.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini