Oleh: Linda*
Oerban.com — Di tengah gempuran kemajuan teknologi dan globalisasi, masih ada satu pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: apakah semua anak Indonesia benar-benar mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan?
Bagi sebagian besar masyarakat, jawabannya mungkin iya. Namun bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, jalan menuju ruang kelas yang setara masih penuh kerikil dan dinding-dinding tak kasatmata.
Pendidikan bukan sekadar hak, melainkan pintu menuju masa depan yang lebih adil dan manusiawi. Kesadaran akan pentingnya pendidikan inklusi yakni sistem pendidikan yang mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sekolah reguler semakin mendapat sorotan.
Di Indonesia, pendidikan inklusi telah menjadi komitmen nasional sejak bergulirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
Namun, data dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa praktik pendidikan inklusi masih jauh dari ideal.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2024, hanya sekitar 18% anak penyandang disabilitas di Indonesia yang mengenyam pendidikan di sekolah formal, baik sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa (SLB).
Bahkan dari total sekitar 300.000 sekolah dasar di Indonesia, hanya sekitar 17.000 yang secara resmi terdaftar sebagai sekolah inklusi dan tidak semuanya memiliki fasilitas maupun tenaga pengajar yang memadai.
Linda, mahasiswi Prodi Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, menekankan pentingnya pendidikan inklusi sebagai bentuk nyata dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam dunia pendidikan.
“Pendidikan inklusi adalah bentuk nyata dari rahmatan lil ‘alamin dalam dunia pendidikan. Ketika semua anak, tanpa kecuali, diberi ruang untuk tumbuh dan belajar bersama, kita sedang membangun masyarakat yang adil dan beradab sejak dari ruang kelas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa dalam praktiknya, banyak anak berkebutuhan khusus yang akhirnya tersisih secara sosial meskipun secara administratif telah terdaftar di sekolah reguler.
“Anak-anak ini sering kali hanya duduk di kelas tanpa pendamping atau metode belajar yang sesuai. Akibatnya, mereka merasa terasing, dan bukan tidak mungkin mengalami tekanan mental. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga menyangkut kemanusiaan,” tambahnya.
Linda menekankan bahwa pendidikan inklusi bukan sekadar menempatkan anak berkebutuhan khusus dalam satu ruangan dengan anak lainnya, melainkan menyediakan sistem yang benar-benar mendukung pertumbuhan mereka secara optimal baik secara akademis, emosional, maupun sosial.
“Pendidikan inklusi tidak cukup hanya diakui dalam undang-undang. Ia harus hidup di ruang kelas. Sekolah seharusnya menjadi tempat pertama di mana anak belajar menerima dan diterima, bukan tempat di mana perbedaan menjadi alasan untuk diabaikan,” katanya.
Pemerintah memang telah menunjukkan komitmen melalui berbagai kebijakan, namun implementasi di lapangan masih terkendala oleh minimnya pelatihan guru, kurangnya tenaga pendamping, serta stigma masyarakat yang belum sepenuhnya menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus di ruang publik.
Menghadirkan pendidikan inklusi berarti menjawab tantangan moral bangsa. Ini bukan sekadar soal ruang kelas dan kurikulum, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa membentuk generasi masa depan yang tumbuh dalam semangat kebersamaan, saling memahami, dan menghargai perbedaan.
Di sinilah letak makna sejati dari pendidikan: bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk memanusiakan.
*Penulis adalah mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN STS Jambi