Oleh: Rama P
Universitas Jambi (Unja) kembali menjadi sorotan publik, bukan karena prestasi yang menuai apresiasi, namun decak heran dan rasa tak percaya yang kiranya hinggap di kepala khalayak saat ini. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa baru penyandang disabilitas dianiaya oleh oknum dosen di kampus sendiri. Parahnya lagi, oknum dosen yang diketahui bernama David tersebut juga menghina fisik dan orang tua korban.
Dalam keterangan yang beredar, korban adalah Mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (Porkes) Universitas Jambi. Mahasiswa tersebut mendapatkan penganiayaan berupa pemukulan, pencekikan, hingga dibenturkan ke meja yang ada di ruangan kerja oknum dosen. Selain itu, mahasiswa tersebut juga mendapatkan pengancaman mengenai pasal perkuliahan tanpa dasar yang jelas.
Miris memang, kampus sebagai ruang intelektual nyatanya tak mampu memberi rasa aman dan nyaman kepada mahasiswanya. Hal ini bukan kejadian yang pertama kali, masih banyak lagi sisi gelap yang tertutup di kampus pinang masak tersebut. Untuk itu, penulis akan mengajak pembaca sekalian kembali ke satu tahun yang lalu, agar bisa mengurai kenapa Unja menjadi tempat praktik premanisme yang subur.
Matinya Demokrasi, Gerbang Awal Degradasi Birokrasi
Sebagai miniatur suatu negara, dinamika kehidupan kampus tak bisa lepas dari aktivisme politik dan perebutan kuasa. Secara tak kasat mata hal tersebut benar adanya, apa yang tampak dari luar mengenai persaingan intelektual, perlombaan karya tulis dan pengabdian pada masyarakat hanyalah topeng yang menutupi sisi gelap di universitas.
Kendati begitu, sebagai insan intelektual, konotasi perebutan kuasa tak boleh hanya dipandang pada satu sisi yang buruk. Karena hal tersebut adalah bagian dari proses pengembangan ke arah yang lebih baik. Mengapa demikian? Karena sangat tidak disarankan negara (red: kampus) berada pada satu kepemimpinan yang sama dalam waktu yang sangat panjang.
Inovasi dan kreativitas harus terus muncul, dan keduanya selalu hadir dalam segala macam bentuk persaingan, termasuk perebutan kuasa. Di dalam kampus perebutan kuasa ada dari tingkat mahasiswa hingga dosen, semua bersaing untuk mengamankan kepentingan masing-masing. Banyak macam tendensi kepentingan, tapi tak semuanya mengarah ke bagian yang buruk. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa harus benar berhati-hati jika bersentuhan langsung dengan aktivitas tersebut.
Kembali pada pokok pembahasan, konsensus dunia saat ini menyepakati demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang paling baik untuk diterapkan. Karena asas keterbukaannya dapat mengakomodir hak semua orang. Mengerucut lagi pada Unja, jauh sebelum Prof. Sutrisno menjabat sebagai rektor, proses demokrasi di dalam kampus berjalan sangat baik dan lancar. Birokrasi saat itu masih menjadi bagian tersendiri yang tidak mengintervensi pergulatan politik mahasiswa.
Namun setahun belakangan, kecenderungan otoriter tampak jelas diperlihatkan oleh pihak birokrasi yang sewenang-wenang mengambil alih pemilihan BEM dan MAM Unja, yang merupakan lembaga eksekutif dan legislatif bagi mahasiswa. Tentunya hal tersebut menimbulkan polemik di kalangan mahasiswa karena bertentangan dengan Kepmendikbud No. 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Sebagaimana pada pasal 2 dikatakan, “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”
Tapi pada realita yang terjadi, mahasiswa tidak mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam proses demokrasi di kampus, dibuktikan dengan pengambilalihan BEM dan MAM secara sepihak. Bahkan setahun sejak polemik tersebut terjadi, hingga kini birokrasi masih terus pongah untuk mempertahankan kesewenangannya, dengan tidak mengembalikan hak mahasiswa dan melaksanakan kembali Pemilu Raya (Pemira).
Masih dalam persoalan yang sama, pengambilalihan BEM dan MAM setahun lalu menuai aksi protes dan demonstrasi, hingga berujung pada aksi premanisme. Agaknya, apa yang terjadi pada mahasiswa disabilitas saat ini adalah hasil dari sikap kampus yang tidak tegas.
Mengingat aksi premanisme setahun lalu, pelakunya adalah sopir dari Wakil Rektor 3 Unja, Teja Kaswari yang sampai saat ini masih menduduki posisi yang sama. Tak ada tindakan hukum yang tegas untuk pelaku saat itu, meski telah ada bukti konkret berupa rekaman video.
Imbasnya tentu saja tidak menimbulkan efek jera, selain itu, orang lain akan menganggap aksi premanisme dan penganiayaan di Unja sebagai suatu hal yang sangat-sangat sepele. Terbukti saat ini, oknum dosen berani melakukan penganiayaan kepada mahasiswa disabilitas di kampus sendiri, bahkan hingga melakukan pelecehan dengan menghina fisik mahasiswa dan pekerjaan orang tuanya.
Kabar terbaru, pada Selasa (20/12/2022) kemarin, saat aksi protes mahasiswa menuntut pelaku dihukum tegas. Diketahui jika oknum dosen bernama David tersebut belum mendapatkan sanksi apapun, masih tetap bisa mengajar dan berkeliaran bebas di kampus. Sungguh miris, apalagi jika sampai kasus selesai tanpa ada kejelasan mengenai sanksi. Tentu ke depannya Unja akan semakin menjadi cerminan buruk ruang intelektual, dan orang akan mengingat Prof. Sutrisno sebagai rektor yang memimpin awal mula degradasi.
Mencari Solusi Perbaikan
Kisruh yang banyak terjadi belakangan ini boleh jadi disebabkan oleh kurangnya pengawasan mahasiswa terhadap birokrasi, serta carut marutnya hak dan wewenang kelembagaan di tingkat mahasiswa.
Sejak tak ada eksekutif dan legislatif, segala persoalan diambil penuh oleh birokrasi, saking banyaknya malah enggan menuntaskan. Sebut saja dugaan kasus pelecehan mahasiswa Fakultas Kedokteran Unja yang sedang magang di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher, jika tanpa desakan mahasiswa yang peduli, mungkin pihak birokrasi tak akan bergeming sedikitpun. Bahkan sampai saat ini, entah sampai mana pengawalan yang dilakukan.
Kasus penganiayaan terbaru akan menjadi pertaruhan integritas Unja, maka sebaiknya ini menjadi perhatian serius birokrasi, terkhusus Prof. Sutrisno selaku rektor.
Selain itu, pihak kampus saat ini perlu mengembalikan lagi hak mahasiswa dengan menghidupkan kembali BEM dan MAM, agar fungsi pengawasan di dalam berjalan. Namun jika BEM dan MAM tak urung juga hidup, perlu menjadi tanda tanya semua mahasiswa, apa kepentingan yang sedang dilindungi birokrasi? Ketakutan semacam apa yang membuat mereka enggan dan terganggu saat diawasi? Semoga ke depan Unja mau berbenah dan menjadi lebih baik.
Baca juga http://oerban.com/otoritarian-dan-praktik-premanisme-di-universitas-jambi/
Penulis merupakan mahasiswa semester 7