Oleh: Muhammad Agus Saputra, S.Pd*
Oerban.com — Bulan Dzulhijjah telah tiba, membawa serta nuansa sakral dan kesempatan spiritual bagi umat Islam untuk memperbanyak amal kebaikan. Di antara banyak nikmat yang Allah berikan, salah satu yang paling agung adalah diizinkannya kita hidup di bulan yang mulia ini.
Momentum tersebut sejatinya menjadi cerminan rasa syukur yang tak sekadar diucapkan, melainkan diwujudkan dalam bentuk ibadah yang nyata.
Allah telah menetapkan dua belas bulan sejak penciptaan langit dan bumi. Di antara dua belas itu, terdapat empat bulan haram yang dimuliakan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Bulan-bulan ini bukan sekadar penanda waktu, tetapi juga ruang spiritual untuk menahan diri dari maksiat dan memperbanyak ibadah.
Dalam khutbah Jumat disampaikan bahwa mensyukuri nikmat Allah bukan hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga dengan tidak menzalimi diri sendiri melalui perbuatan dosa. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“Janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”
(QS. At-Taubah: 36)
Rasa syukur dapat terwujud dalam dua bentuk ibadah: ibadah badan dan ibadah harta. Ibadah badan mencakup seluruh aktivitas jasmani yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dari membaca Al-Qur’an, mendengar nasihat, hingga membantu sesama.
Sedangkan ibadah harta mengambil bentuk pengorbanan materi, salah satunya dengan melaksanakan ibadah kurban.
Ibadah kurban bukan hanya simbolik. Ia adalah bentuk nyata ketaatan dan keikhlasan, sebagaimana telah dicontohkan Nabi Ibrahim dan diperintahkan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Surat Al-Kautsar:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.”
(QS. Al-Kautsar: 1–2)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa nikmat yang Allah limpahkan kepada kita baik nikmat iman, hidup, maupun rezeki menuntut bentuk syukur yang konkret: salat dan kurban.
Dalam tafsir, Al-Kautsar dimaknai sebagai “nikmat yang banyak dan melimpah”, dan salah satu bentuk terbesarnya adalah kemampuan untuk beribadah.
Rasulullah SAW bahkan menyampaikan peringatan tegas:
“Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Hakim)
Seruan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan menyadarkan bahwa kesempatan berkurban adalah anugerah, bukan beban.
Saat banyak saudara kita yang masih membutuhkan uluran tangan, momen kurban adalah bentuk solidaritas dan kepedulian sosial yang konkret.
Dzulhijjah bukan sekadar nama bulan. Ia adalah panggilan iman. Maka jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang diberikan Allah dengan kelalaian dan kemaksiatan.
Jadikan setiap hembusan napas sebagai bentuk syukur, dan setiap rezeki sebagai jalan ibadah. Semoga kita termasuk golongan hamba yang pandai bersyukur, bukan yang menzalimi diri sendiri dengan keengganan beribadah.
*Penulis merupakan Da’i Kota Jambi