Oleh: Harfinalta Asri*
Oerban.com — Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sebuah kegiatan yang menghadirkan suasana berbeda. Ada bazar makanan Thailand di Jamtos, ramai dikunjungi, penuh antusiasme. Hal-hal semacam itu memang menarik, mencerminkan budaya populer yang cepat menyedot perhatian.
Namun di tengah riuhnya keramaian itu, saya merenung: mengapa kegiatan-kegiatan bernilai edukatif seperti diskusi, membaca, mengaji, atau sekadar berdialog soal arah hidup, justru semakin jarang mendapat tempat di kalangan mahasiswa?
Sebagai mahasiswa, kita mestinya bukan hanya menjadi penonton dalam pusaran kegiatan yang terjadi di sekitar kita.
Sudahkah kita membuat target harian atau mingguan? Berapa halaman buku yang ingin kita baca? Berapa juz yang ingin kita khatamkan dalam sebulan? Sayangnya, nongkrong lebih sering diisi obrolan kosong tanpa muatan, bahkan makin sering nongkrong makin terasa hampa.
Saya pribadi, semakin hari semakin memilih untuk tidak terlalu banyak “nongkrong” jika tidak ada diskusi bermakna. Lingkungan adalah faktor utama yang membentuk kita.
Maka, setelah menetapkan target pribadi, penting untuk menciptakan lingkungan kondusif. Bukan berarti menjauhi pergaulan, tetapi menjernihkannya menjadikan pertemuan sebagai ruang diskusi, bukan sekadar basa-basi.
Saat kuliah, saya sendiri mengakui tidak terlalu rajin hadir di kelas, tetapi itu bukan berarti saya berhenti belajar. Rapat organisasi, diskusi internal, hingga membentuk struktur kepemimpinan mahasiswa itulah tempat saya belajar.
Bahkan, budaya memukul meja saat rapat kala itu bukan simbol anarki, melainkan semangat bahwa setiap keputusan harus punya nyawa dan makna.
Namun hari ini, budaya itu nyaris hilang. Mahasiswa cenderung tenang, terlalu tenang, bahkan dalam menghadapi ketidakadilan sekalipun. Penyadaran politik pun kini terasa melambat.
Ketika pemilu datang, banyak dari kita tidak memiliki referensi yang cukup untuk memilih, sekadar karena tidak kenal siapa calon wakil rakyatnya.
Pernah dalam sebuah forum, saya mendapati seorang pembicara dari elit lokal yang tampil tidak meyakinkan bukan karena tidak punya niat, tapi karena mungkin terlalu mengandalkan “orang dalam” tanpa kompetensi memadai.
“Orang dalam” memang tidak selalu buruk, tetapi akan jadi masalah besar ketika kualitas diabaikan.
Mahasiswa hari ini perlu keberanian. Bukan sekadar berani bicara di media sosial, tetapi juga di ruang-ruang nyata. Berani menyampaikan pendapat di kampus, dalam forum-forum resmi, dan yang lebih penting: berani menyampaikan kebenaran meski sendirian.
Demokrasi kampus, seperti pemilihan ketua BEM atau organisasi lain, semestinya menjadi laboratorium politik yang sehat, bukan ajang formalitas belaka.
Di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, Generasi Z menghadapi tantangan besar: menjadi motor perubahan sosial dan politik. Seringkali politik dipahami sempit sekadar urusan pemilu dan perebutan kekuasaan.
Padahal, dalam keseharian, kita semua sudah menjalankan bentuk-bentuk “politik”, seperti mengatur strategi hidup. Maka dari itu, tidak sepantasnya mahasiswa alergi terhadap politik.
Budaya literasi kita hari ini juga sedang sakit. Terlalu banyak konten instan, terlalu sedikit bacaan mendalam. Padahal, untuk memahami kompleksitas demokrasi, keadilan sosial, dan kebijakan publik, dibutuhkan daya kritis yang tidak bisa lahir dari scroll media sosial semata.
Dalam Surah Al-Kahfi ayat 13, Allah mengisahkan pemuda Ashabul Kahfi yang teguh menjaga iman meski ditindas kekuasaan.
Ini bukan sekadar kisah keagamaan, tapi simbol keberanian generasi muda melawan arus dan mempertahankan nilai. Kita hari ini juga dihadapkan pada pilihan serupa: berdiam atau bergerak.
Apakah kita akan terus larut dalam sistem yang hanya menjadikan mahasiswa sebagai penonton dan pelengkap? Ataukah kita mulai menyusun barisan, membangun budaya diskusi, menetapkan target, dan membentuk komunitas kritis yang menyuarakan perubahan?
Dari pengalaman di berbagai daerah baik di Jambi maupun saat menghadiri kongres mahasiswa di Kendari saya melihat gejala yang sama: kampus yang sepi dari keberpihakan.
Padahal satu suara mahasiswa bisa menentukan arah perubahan, bukan hanya untuk kampus, tetapi juga masyarakat.
Hari ini, kita punya dua pilihan: membuat sejarah dalam bingkai kebaikan atau keburukan. Apakah kita ingin dikenang sebagai generasi satu persen yang hadir tapi tak berdampak? Atau sebagai generasi yang menggerakkan perubahan, meski harus melawan arus kenyamanan?
Maka, saya tutup dengan sebuah refleksi: jangan berharap banyak dari sistem jika kita sendiri tidak bergerak.
Perubahan tidak datang dari luar, tetapi dari keberanian diri kita untuk memulai, meski dari hal kecil: menetapkan target, menjaga lingkungan diskusi, dan membiasakan diri berpikir kritis. Karena esok, kita akan ditanya: apa peranmu di masa itu?
*Penulis merupakan Aktivis KAMMI