Oleh: Annisa Dwi Cahyani*
Oerban.com — Kebijakan pendidikan merupakan instrumen penting dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil, berkualitas, dan berkelanjutan. Di Indonesia, perumusan kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menyertainya.
Oleh karena itu, formulasi kebijakan pendidikan menuntut keterlibatan berbagai aktor dan tahapan yang sistematis agar mampu menjawab tantangan zaman serta menjamin masa depan peserta didik.
Secara teoritis, perumusan kebijakan publik termasuk pendidikan melewati empat tahapan utama: identifikasi masalah, formulasi kebijakan, implementasi, dan evaluasi.
Dalam tahap formulasi kebijakan, aktor-aktor strategis memainkan peran penting dalam menentukan arah dan isi kebijakan tersebut. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, akademisi, organisasi profesi, dan sektor swasta harus menjadi bagian dari proses ini.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentu menjadi aktor utama dalam perumusan kebijakan pendidikan nasional.
Melalui unit-unit teknisnya, kementerian ini mengidentifikasi kebutuhan pendidikan, menyusun rencana strategis, dan mengajukan kebijakan kepada pemerintah pusat dan legislatif.
Namun, dalam praktiknya, perumusan kebijakan yang hanya terpusat di birokrasi cenderung mengabaikan realitas lokal yang sangat beragam.
Di sinilah pentingnya melibatkan pemangku kepentingan lain. Akademisi, misalnya, dapat memberikan landasan teoritis dan bukti empirik tentang efektivitas suatu kebijakan.
Organisasi guru seperti PGRI dapat menyuarakan pengalaman nyata di lapangan, sedangkan orang tua dan siswa bisa menyuarakan kebutuhan dan harapan mereka terhadap sistem pendidikan.
Sayangnya, partisipasi aktor-aktor ini masih terbatas pada forum-forum formal yang tidak selalu berdampak langsung terhadap substansi kebijakan.
Contoh nyata dari tantangan formulasi kebijakan dapat dilihat pada implementasi Kurikulum Merdeka. Meskipun bertujuan memberikan fleksibilitas bagi sekolah dan siswa, kebijakan ini sempat menuai kritik karena kurangnya kesiapan guru dan belum meratanya infrastruktur digital.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang baik di atas kertas belum tentu efektif jika tidak melibatkan aktor-aktor pelaksana secara mendalam dalam tahap formulasi.
Selain itu, proses perumusan kebijakan pendidikan sering kali terjebak dalam pendekatan top-down yang minim konsultasi publik.
Padahal, pendekatan partisipatif atau bottom-up memungkinkan kebijakan yang lebih kontekstual, adaptif, dan diterima oleh masyarakat luas.
Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah seharusnya diberi ruang untuk turut menyusun kebijakan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing.
Tak kalah penting adalah peran media dan masyarakat sipil dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas proses kebijakan. Media massa dapat menjadi jembatan antara pemerintah dan publik untuk menyuarakan kritik, masukan, serta membentuk opini publik yang konstruktif.
Sementara itu, LSM dan komunitas pendidikan berpotensi menjadi mitra strategis dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan.
Selain faktor partisipasi, urgensi lain dalam perumusan kebijakan adalah penggunaan data dan riset sebagai dasar pengambilan keputusan.
Di era digital saat ini, data pendidikan tersedia dalam jumlah besar, namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara maksimal.
Pemerintah perlu menerapkan prinsip evidence-based policy, yaitu kebijakan yang dirancang berdasarkan analisis data, riset akademik, serta masukan dari lapangan.
Tidak cukup hanya merumuskan kebijakan yang baik, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan.
Kebijakan yang tidak mempertimbangkan kapasitas pelaksana, kondisi daerah, dan dinamika sosial akan berujung pada kesenjangan implementasi.
Karena itu, setiap kebijakan harus disertai dengan peta jalan pelaksanaan, dukungan anggaran, pelatihan bagi pelaksana, dan sistem evaluasi yang komprehensif.
Lebih jauh, formulasi kebijakan pendidikan harus mempertimbangkan tantangan global seperti perubahan iklim, perkembangan teknologi, serta dinamika pasar kerja.
Kurikulum dan sistem pendidikan harus mampu mempersiapkan peserta didik menghadapi masa depan yang cepat berubah.
Maka, pendekatan jangka panjang dalam kebijakan pendidikan mutlak diperlukan, bukan sekadar reaksi terhadap situasi sesaat atau kepentingan politik.
Penting pula menyoroti keberlanjutan kebijakan dari satu periode pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Banyak kebijakan pendidikan yang bagus namun tidak berumur panjang karena pergantian pejabat atau perubahan arah politik.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerangka hukum dan kelembagaan yang mampu menjaga kontinuitas kebijakan secara konsisten, terlepas dari dinamika politik yang terjadi.
Dengan demikian, perumusan kebijakan pendidikan bukanlah proses teknokratis semata, tetapi proses sosial-politik yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan berbeda.
Untuk itu, diperlukan ruang dialog yang sehat, kemauan politik yang kuat, dan mekanisme partisipasi yang nyata agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan peserta didik dan tantangan pendidikan masa depan.
Pendidikan adalah milik bersama, dan kebijakannya pun harus dirumuskan secara bersama-sama demi kemajuan generasi dan bangsa Indonesia.
Penulis merupakan mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi