Oleh : Muhammad Sopian*
Oerban.com — Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, manusia terus berupaya mencari kebahagiaan. Ada yang menumpuk harta, mengejar jabatan, atau bahkan berusaha menunda penuaan dengan teknologi canggih. Namun, di balik itu semua, ada satu pencarian mendalam yang sering terabaikan yaitu jalan pulang.
Pengejaran Tanpa Akhir: Antara Dunia dan Keabadian
Dunia menawarkan banyak kesenangan sementara. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 185, “Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” Ayat ini mengingatkan bahwa dunia hanyalah fase singkat sebelum kita menghadapi kehidupan yang sesungguhnya di akhirat.
Namun, banyak orang yang lupa akan hal ini. Beberapa orang kaya di dunia bahkan rela menghabiskan miliaran rupiah untuk memperpanjang masa mudanya. Mereka berusaha memperlambat proses penuaan, seolah ingin hidup abadi di dunia ini. Padahal, kematian adalah kepastian yang tidak bisa dihindari.
Sementara itu, di sisi lain, ada orang-orang yang justru memahami bahwa dunia hanyalah persinggahan. Mereka melihat dunia sebagai tempat untuk mempersiapkan bekal menuju akhirat. Mereka menyadari bahwa pencapaian sejati bukanlah kekayaan atau status sosial, melainkan ketenangan batin dan kedekatan dengan Allah.
Dunia: Tempat Tinggal atau Tempat Meninggal?
Konsep ini membawa kita pada pertanyaan mendasar, Apakah kita melihat dunia sebagai tempat tinggal atau tempat meninggal? Jika dunia hanya dianggap sebagai tempat tinggal, maka manusia akan terus sibuk memperindahnya tanpa peduli pada kehidupan setelahnya. Tapi jika dunia dipahami sebagai tempat meninggal, maka kita akan lebih fokus pada persiapan menuju kehidupan yang abadi.
Di dalam Surah Al-Ankabut ayat 64, Allah berfirman, “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” Artinya, dunia ini memang bisa dinikmati, tapi bukan untuk dijadikan tujuan akhir.
Maka, sangat lucu jika kita tahu bahwa dunia hanyalah permainan, namun kita menghabiskan seluruh energi untuk itu. Lebih ironis lagi jika kita mengetahui tentang akhirat, tapi tidak bersungguh-sungguh mempersiapkannya.
Menemukan Jalan Pulang
Banyak orang yang merasa kehilangan arah dalam hidup karena lupa tujuan akhirnya. Mereka mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Padahal, kebahagiaan sejati justru terletak pada kedekatan dengan Allah dan persiapan menuju akhirat.
Dalam perjalanan ini, kita membutuhkan petunjuk. Dan petunjuk itu datang dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada kebenaran, dan cinta kepada kehidupan yang lebih kekal.
Mencintai jalan pulang berarti selalu mengevaluasi langkah-langkah yang kita ambil. Apakah jalan yang kita tempuh sudah benar? Apakah tindakan kita mendekatkan diri kepada Allah? Jika belum, maka inilah saatnya untuk kembali.
Umur Produktif: Waktu yang Tak Bisa Kembali
Jika kita berpikir panjang, umur produktif manusia hanya sekitar 20 tahun, dari usia 20 hingga 40 tahun. Setelah itu, energi mulai menurun, kesempatan mulai berkurang. Maka, pertanyaannya: ke mana umur kita telah dihabiskan?
Apakah kita menggunakannya untuk menumpuk harta, mengejar jabatan, atau mengejar kesenangan duniawi? Ataukah kita sudah mulai mempersiapkan bekal untuk akhirat?
Kehidupan ini sementara, dan waktunya sangat singkat. Jika kita tidak menyadari hal ini sekarang, kapan lagi?
Kesimpulan: Mengekspresikan Cinta kepada Allah dalam Tindakan
Pada akhirnya, kehidupan ini bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tapi bagaimana kita menyikapinya. Jika kita benar-benar mencintai Allah, maka cinta itu harus diekspresikan dalam tindakan.
Kita bisa mulai dengan memperbaiki niat, memperbanyak amal baik, dan selalu mengingat bahwa dunia ini hanyalah persinggahan. Dengan begitu, kita tidak hanya sibuk mengejar dunia, tapi juga mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelahnya.
Maka, apakah kita sudah siap mencintai jalan pulang?
*Penulis merupakan Founder Youth Move Up Komunitas Hijrah Jambi