Kota Jambi, Oerban.com – Pernahkah Sahabat mendengar istilah hustle culture? Jika belum pernah, apakah sahabat sering bekerja lembur hingga lupa waktu? Apakah sahabat juga pernah merasa 24 jam tidaklah cukup untuk bekerja? Seberapa sering sahabat mengabaikan waktu istirahat untuk bekerja karena ada target besar yang harus dikejar, walau telah merasa lelah? Atau pernahkah sahabat menomorduakan kesehatan, kebahagiaan, dan hubungan dengan orang-orang terkasih karena memilih menyelesaikan tumpukan pekerjaan? Hustle culture erat sekali kaitannya dengan beberapa penjelasan tersebut loh.
Hustle culture merupakan suatu istilah yang ditujukan pada budaya kerja keras yang membuat seseorang terus-menerus mendorong dan memaksakan diri untuk bekerja hingga melampaui kapasitas diri dan batas jam maksimal bekerja serta melalaikan kesehatan, kehidupan sosial, dan kesejahteraan dirinya sendiri demi meraih peningkatan karier yang cemerlang, kemakmuran finansial, dan kesuksesan secepat mungkin.
Hustle culture merupakan tren gila kerja yang saat ini mengglobal di kalangan generasi muda. Bekerja menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan seseorang ketika usianya telah mencapai rentang dewasa awal. Terlebih di era Revolusi Industri 4.0, penerapan sistem kerja serta perangkat dan segala fasilitas yang digunakan dalam bekerja terus mengalami aklimatisasi yang dinamis, agar cocok dengan pola kehidupan angkatan kerja global yang pada masa kini digenggam oleh Generasi Milenial dan Generasi Z.
Kemajuan teknologi dan karakteristik khas dari Generasi Milenial dan Generasi Z menciptakan modernisasi gaya atau budaya kerja yang lebih fleksibel, seperti misalnya dengan implementasi work from anywhere (WFA) yang memungkinkan seseorang bekerja di mana saja, digitalisasi teknologi mutakhir yang dapat meringankan pekerjaan, serta pilihan jenis karier yang lebih beragam dan serasi dengan aneka potensi yang dimiliki individu.
Selain itu, konstruksi standardisasi nilai-nilai sosial yang cenderung kapitalistis menginternalisasikan suatu paham bahwa tolok ukur kesuksesan seseorang dilihat dari kemapanan, kondisi finansial yang menguntungkan, kepemilikan aset pribadi, jenis pekerjaan, dan capaian karier. Selain itu, hal ini membuat kawula muda merasa cemas apabila tidak dapat meraih apa yang menjadi parameter kesuksesan dan berambisi berlomba-lomba atau bersaing dengan orang lain untuk menjadi yang paling unggul.
Banyak angkatan kerja global masa kini yang berpersepsi apabila ia bersantai sejenak saja, ia bisa tertinggal jauh oleh rekan-rekan kerja yang lain. Di sisi lain, mereka juga beranggapan bahwa rasa lelah hanya menjadi penghalang untuk bekerja, sehingga banyak yang mencampakkan kesehatan dan menolak untuk istirahat demi melanjutkan pekerjaan.
Mereka terus menodong diri dengan: “mana punya waktu untuk istirahat? Jangan buang-buang waktu! Harus tetap produktif! Satu menit sangat berharga dan disayangkan jika hanya dihabiskan untuk istirahat! Masa hanya segini? Masa cepat sekali lelahnya? Nanti gak sukses-sukses!”
Seseorang yang mengidap hustle culture biasanya terobsesi untuk bekerja hingga lembur hampir setiap saat,
mengabaikan rasa lelah dalam bekerja,
bangga terhadap fakta bahwa ia merelakan jam istirahat demi bekerja dan lembur dianggap sebagai sebuah prestasi tak tergantikan dan dinilai sebagai bagian capaian dari kualitas diri yang positif.
Sejenak hustle culture terlihat seperti suatu budaya positif dan produktif yang membanggakan dan memotivasi, namun sebenarnya hustle culture dapat berdampak pada terganggunya kesehatan mental, seperti psikosomatis, kecemasan mendalam, depresi, burnout; mengganggu harmonisasi kehidupan sosial, seperti terciptanya jarak emosional dengan orang-orang terkasih, perasaan terisolasi; dan mengaburnya work life balance, yaitu keseimbangan karier dan kehidupan personal, karena senantiasa menuntut diri untuk menjadi pribadi profesional yang mengakibatkan seseorang tak dapat lagi menikmati kehidupan personalnya dan harus selalu menekan emosi-emosi negatif yang muncul hanya demi dapat mengerjakan pekerjaannya dengan sempurna, padahal merupakan hal yang manusiawi apabila seseorang merasakan emosi negatif, seperti cemas, khawatir, sedih, takut, marah, jemu, dan sebagainya.
Sahabat, merupakan hal yang baik apabila kita memiliki motivasi yang kuat dan konsisten dalam meraih kesuksesan. Apalagi jika kita ingin selalu mengisi waktu dengan hal yang positif dan produktif, seperti dengan senantiasa berupaya bekerja secara totalitas. Tentu itu akan menjadi sebuah nilai yang berarti untuk kita. Namun, jika hal ini dilakukan secara berlebihan, bahkan mengarah pada obsesi kerja, tentu ini bukan lagi menjadi suatu hal yang baik bagi diri kita.
Sahabat, kita harus ingat bahwa kita adalah manusia, bukan robot. Istirahatlah jika sudah lelah untuk hari yang lebih baik dan untuk mengumpulkan semangat baru.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini