Sejarah memang topik yang paling menarik untuk menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa. Hal ini karena ia merupakan bagian yang tak pernah terpisahkan dari dimensi kehidupan manusia. Seperti garis waktu yang akan terus ada, sejarah tak akan pernah hilang.
Mengenang soal sejarah, di bulan Maret ini ada satu kisah penuh misteri yang masih belum terpecahkan keasliannya. Apa lagi kalau bukan surat perintah sebelas maret (Supersemar). Menurut saya, ada 3 hal yang terpikir saat mengenang peristiwa tersebut, yaitu menarik, penuh perdebatan, dan emosional.
Supersemar Masa Kini
Dalam dimensi waktu terkini, Rektor Universitas Jambi (Unja), Prof. Sutrisno mengeluarkan surat instruksi nomor 2 tahun 2023. Instruksi tersebut tentang persiapan pemilihan umum raya (Pemira) mahasiswa Unja. Surat instruksi atau lebih ingin saya sebut sebagai surat perintah itu ditandatangani oleh Prof. Sutrisno pada tanggal 10 Maret lalu.
Surat perintah sepuluh maret (Supersemar) versi Unja, begitu saya melabeli surat dari birokrasi kampus tersebut. Bukan sekadar sensasi yang saya ambil, tapi karena ada banyak kemiripan dalam isi dan orientasi antara Supersemar lama dan baru.
Dirunut dari kelahiran misalnya, kedua surat itu sama-sama lahir dari latar belakang politik yang sedang kacau. Keduanya juga punya orientasi untuk mengisi pos pemerintahan yang kosong dengan niat untuk memulihkan kembali kondisi sosial.
Merujuk kepada isi, Supersemar era lama banyak kontroversi soal substansi yang akhirnya berujung pada diskresi penyerahan kekuasaan pada Soeharto. Padahal, bagi Soekarno surat itu seharusnya hanya perintah pengendalian keamanan, bukan transfer of authority.
Bergeser ke Supersemar versi Unja, Deja vu sangat mungkin terjadi. Bahkan mudah saja melakukan hal serupa mengingat struktur politik masih berada dalam satu kesatuan yang sama, yaitu di bawah pimpinan birokrasi tertinggi kampus (Rektor).
Dalam pandangan mahasiswa biasa, yang tampak dan tergambar hanyalah perintah untuk melaksanakan Pemira. Dengan demikian, apa yang menjadi hak mahasiswa kembali menjadi normal. Namun sejatinya, surat tersebut adalah bagian terstruktur dari pengamanan kepentingan rektor.
Jika menarik benang merah upaya pengamanan kepentingan ini, maka seharusnya mahasiswa masih ingat bahwa pada tanggal 11 November tahun 2021 lalu pernah keluar surat yang meminta nama-nama calon Plt BEM. Dalam surat tersebut, ada instruksi kepada masing-masing dekan untuk mengirim 3 orang mahasiswa yang akan menjadi calon Plt BEM.
Menoleh lebih jauh ke belakang, upaya rektor sebenarnya telah mulai sejak jauh-jauh hari, yaitu sejak dirumuskan ide dan pelantikan lembaga bernama Badan Perencanaan dan Pengembangan Kegiatan Mahasiswa (BP2KM). Konon, kabarnya lembaga ini dibentuk sebagai perpanjangan tangan yang berkoordinasi langsung di bawah rektor dan terbentuk tanpa sepengetahuan mahasiswa.
Jadi, dalam runutan peristiwa, ada tiga upaya rektor dalam mengamankan kepentingannya. Pertama, terbentuknya BP2KM. Kedua, menunjuk langsung Plt BEM. Kemudian ketiga adalah yang teranyar, yaitu pelaksanaan Pemira.
Mengulik Lebih Jauh Supersemar Unja
Sebagai surat yang keluar langsung dari birokrasi, harusnya Supersemar Unja bisa lebih berkompeten dalam isi, mengingat wajah kampus yang sangat anti dengan kesalahan ejaan, pemberian tanda baca dan typo penulisan. Bagi dunia kampus, hal-hal semacam itu hukumnya adalah fatal.
Untuk ukuran informasi, Unja tampaknya masih jauh dari kata baik. Pertama, Supersemar yang terbit tidak terakses di platform resmi Unja. Padahal, untuk menjamin keaslian, hal tersebut perlu. Kedua, typo dalam surat yang telah beredar cukup fatal, yaitu salah dalam penulisan referensi dasar keluarnya Supersemar.
Tertulis dalam surat, ada beberapa pedoman keluarnya perintah pelaksanaan Pemira, salah satunya adalah keputusan rektor Universitas Jambi nomor 5 tahun 2018. Ternyata, surat keputusan tersebut adalah tentang senat di lingkungan Universitas Jambi.
Usut punya usut, ada typo dalam surat bertanda tangan rektor yang telah beredar. Hanya typo, sangat tidak substansial dan tidak penting, mungkin begitu respon birokrasi bilamana dimintai keterangan saat ini. Untuk memperjelas, pedoman yang benar adalah surat keputusan nomor 4, bukan 5.
Meski barangkali pihak birokrasi menganggap typo adalah hal yang sepele, tetapi bagi saya, hal tersebut adalah fatal. Logika sederhananya begini, bagaimana mau memberi perintah dengan benar jika diri sendiri saja salah dalam berpedoman.
Selain keputusan rektor, Prof. Sutrisno dalam Supersemarnya juga mengaku berpedoman pada Kepmendikbud Republik Indonesia Nomor 155 /U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan.
Sekilas mungkin tampak benar, namun lagi-lagi Unja menunjukkan ketidakompetennya. Sebab, pedoman untuk mengeluarkan Supersemar itu juga kontradiktif dengan isi yang tertera.
Sebagai info, pada pasal 2 Kemendikbud Nomor 155 /U/1998, tertera bahwa organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
Prinsip penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan adalah dengan memberi peranan dan keleluasaan lebih kepada mahasiswa. Maka jika berpedoman pada Kepmendikbud, seharusnya mahasiswa terlibat dalam proses perencanaan dan penyelenggaraan Pemira.
Untuk lebih memperjelas, di bawah ini saya lampirkan 5 poin Supersemar Unja yang keseluruhannya merupakan perintah kepada Dekan, Wakil Dekan, Ketua Jurusan, Ketua Prodi, dan Tenaga Kependidikan Sub Bagian Kemahasiswaan
5 poin Supersemar Unja
- Melakukan koordinasi di tingkat fakultas masing-masing untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemilu Raya Mahasiswa (Pemira) di tingkat fakultas;
- Segera mengumpulkan dan memberikan pengarahan kepada organisasi mahasiswa tingkat fakultas yang masih aktif dan sah terkait persiapan dan pelaksanaan Pemilu Raya (Pemira) Mahasiswa di tingkat fakultas;
- Fakultas wajib memfasilitasi setiap langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan pemilu raya mahasiswa (Pemira) di tingkat fakultas;
- Segera melaksanakan pemilu raya mahasiswa (Pemira) di tingkat fakultas;
- Melaporkan perkembangan langkah-langkah yang dilakukan dalam persiapan, terkait jadwal dan waktu pelaksanaan pemilu raya mahasiswa (Pemira) di tingkat fakultas masing-masing kepada rektor melalui wakil rektor bidang kemahasiswaan dan alumni.
Orientasi Supersemar Unja: Pemira Manipulatif Versi Rektor
Keluarnya surat perintah rektor yang tidak melibatkan secara langsung mahasiswa dalam proses perencanaannya sarat akan kepentingan, di mana hal ini tidak jauh beda dengan penunjukan sepihak Plt BEM. Dalam pengertian secara praktis, bisa kita simpulkan bahwa birokrasi ingin mengendalikan secara penuh proses hingga penyelenggaraan.
Hal ini bukan sekedar tudingan yang tidak beralasan, tetapi lewat analisa dari poin kedua surat rektor, yaitu perintah untuk memberikan “pengarahan”. Satu kata ini bisa menghasilkan tafsir yang luas sesuai kepentingan, itu yang saya sebut di awal sebagai diskresi.
Jika dulu diskresi Supersemar berupa transfer of authority, maka di dalam surat rektor, diskresi tersebut bisa berupa perumusan mekanisme Pemira sesuai kehendak birokrasi, dengan dalih birokrasi punya kuasa berlegalitas hukum untuk memberi arahan.
Oleh karena itu, ke depan jika Pemira berjalan berdasarkan Supersemar Unja, maka seluruh mahasiswa akan dimanipulasi untuk menghantarkan rektor meraih kepentingannya. Penguasaan politik kampus punya banyak keuntungan strategis, karena dengan kemampuan mengorganisir massa yang jumlahnya ribuan, penggerak dapat menentang berbagai kebijakan atau justru mengarahkan massa untuk mendukung kebijakan tersebut.
Penulis: Muhammad Dandi, eks anggota MAM Unja