Oleh : Ihwang Syaputra*
Oerban.com – Salah satu ayat yang keras menegur umat Islam, khususnya para dai, ulama, dan siapa saja yang berdakwah, terdapat dalam surah Ash-Shaff ayat 2–3:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ayat ini menegur keras orang yang gemar menyuruh berbuat baik, namun lalai melaksanakan apa yang diajarkannya. Teguran ini bukan sekadar untuk para pendakwah, melainkan bagi semua orang yang berlebihan dalam berbicara, tetapi miskin dalam praktik. Semakin banyak berbicara, semakin besar pula potensi salah dan lupa terhadap diri sendiri.
Meski demikian, memberi nasihat tetaplah kewajiban. Bahkan, dalam memberi nasihat kita diingatkan untuk tidak berhenti memperbaiki diri. Menasihati orang lain sembari melupakan diri sendiri adalah celah yang harus dihindari. Karena itu, para sahabat Rasulullah punya amalan-amalan tersembunyi yang tidak diketahui orang lain, sebagai bukti kesungguhan mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah Datang di Masa Resesi Moral
Sejarah mencatat, Rasulullah lahir di tengah resesi moral yang parah: praktik zina merajalela, bayi perempuan dibunuh, perempuan diperlakukan hina, dan keadilan hanya milik kaum kuat. Sejarawan menyebut, kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah momentum yang sangat tepat untuk mengangkat kembali harkat manusia dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Rasulullah hadir bukan hanya sebagai nabi dan rasul, tetapi juga pemimpin umat dan kepala negara. Beliau menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati berpijak pada empat sifat: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Prinsip ini pula yang diwarisi oleh para khalifah setelahnya.
Umar bin Khattab dan Kepemimpinan Tanpa Nepotisme
Kepemimpinan Umar bin Khattab menjadi contoh gemilang. Ia tidak pernah menoleransi kesalahan, bahkan dari keluarganya sendiri. Umar mendidik anak-anaknya untuk tidak menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi. Ketika salah satu anaknya meminta baju baru menjelang Idulfitri, Umar menolak memberi dari baitul mal dengan alasan gaji belum turun.
Bahkan, sekadar menggunakan sisa parfum dari kas negara pun ia anggap pelanggaran. Umar mendidik keluarganya dengan ketegasan agar tidak ada celah bagi kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan umum.
Pelajaran bagi Pemimpin Kita
Hari ini, bangsa kita masih menyaksikan pejabat publik yang menjadikan jabatan sebagai sarana memperkaya diri, melindungi keluarga, bahkan membela kesalahan anak atau kerabat. Padahal, amanah kepemimpinan adalah ujian besar yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Karena itu, opini ini ingin menegaskan dua hal penting. Pertama, setiap pribadi muslim harus mulai dengan memperbaiki diri sebelum banyak berbicara atau menasihati. Kedua, seorang pemimpin sejati adalah mereka yang menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Keteladanan Rasulullah dan para sahabatnya masih relevan untuk kita jadikan cermin. Di tengah resesi moral dan krisis kepercayaan pada pemimpin, kita merindukan sosok yang benar-benar takut kepada Allah, sehingga tidak berani menzalimi rakyat, apalagi menyalahgunakan amanah.

