Oleh: Ihwang Syaputra
Oerban.com — Dalam setiap fase sejarah bangsa, selalu ada satu hal yang menjadi bahan bakar gerakan rakyat yaitu narasi. Sebuah bangsa besar tidak mungkin lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari narasi kolektif, yang datang dari identitas yang kuat.
Sayangnya, Indonesia hari ini masih sering abai dalam membangun narasi besar bangsanya sendiri. Kita lebih sibuk membahas isu-isu jangka pendek ketimbang merawat gagasan jangka panjang.
Padahal, narasi itu bukan sekadar kata-kata indah, ia adalah peta jalan. Narasi yang berpijak pada identitas kebangsaan mampu menyatukan perbedaan, menginspirasi kolaborasi, dan melahirkan keputusan-keputusan rasional.
Tanpa narasi, bangsa hanya akan bergerak mengikuti arus wacana global, tanpa arah yang jelas.
Di sinilah berpikir kritis menjadi kebutuhan mendesak. Demokrasi yang sehat tidak cukup hanya dengan pemilu yang rutin. Ia butuh warga negara yang mampu bertanya, mempertanyakan, dan mencari tahu lebih dalam.
Pertanyaan-pertanyaan yang sulit tentang keadilan, pelayanan publik, keberpihakan kebijakan harus menjadi kebiasaan warga, bukan hal yang ditakuti.
Contoh sederhana bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari:
Mengapa pasien rumah sakit harus menunggu tiga jam hanya untuk mendapatkan layanan?
Mengapa anggaran pembangunan tidak berdampak nyata bagi masyarakat kecil?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah pintu masuk menuju kebijakan yang lebih baik. Ia menggerakkan otak, memaksa kita berpikir rasional, dan pada akhirnya mendorong lahirnya solusi berbasis data.
Lebih dari itu, bertanya bisa memberikan tiga hal: bertanya karena kita ingin tahu, bertanya karena kita ingin memberi tahu, dan bertanya untuk melihat sejauh mana pemahaman orang lain.
Maka dari itu, budaya bertanya bukan sekadar respons sesaat, melainkan instrumen penting dalam membentuk warga negara yang cerdas dan aktif.
Sebagai warga negara, kita tidak bisa hanya menjadi penerima kebijakan. Kita harus hadir sebagai mitra dalam pembangunan. Dan itu hanya mungkin jika kita menjadikan bertanya sebagai budaya, bukan sekadar reaksi sesaat.
Lebih jauh lagi, kepemimpinan publik adalah ruang pendidikan yang nyata. Pemimpin bukan hanya pengatur, tapi juga pendidik. Ia harus mampu menghidupkan ruang dialog, bukan monolog.
Kepemimpinan adalah proses pembelajaran yang tidak pernah selesai. Karena itu, siapa pun yang memimpin, harus menjadikan dirinya sebagai pembelajar sejati.
Seperti yang dikatakan Anies Baswedan, “Berpikirlah seperti orang asing, bertindaklah seperti orang lokal.”
Artinya, kita harus punya keberanian untuk memandang sesuatu dengan perspektif baru, namun tetap membumi dalam realitas lokal. Cara pandang yang kritis namun kontekstual adalah kunci kemajuan.
Jika kita ingin Indonesia menjadi lebih baik, maka mulailah dengan bertanya hal-hal yang belum ditanyakan. Jangan takut mengusik kenyamanan yang stagnan.
Karena dari situlah narasi besar bangsa bisa kembali hidup dan menuntun kita menuju masa depan yang lebih cerah.
*Penulis merupakan Mahasiswa UIN Jambi