Otoritarianisme Gaya Baru
Oleh : Agus Mustawa
Mencermati rangkaian peristiwa faktual akhir-akhir ini, semakin menguatkan adanya semacam persepsi bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia bejalan kian mundur kebelakang. Mengutip hasil survey yang dipublikasikan Freedom House dengan judul Freedom in The World, bahwa hak politik dan kebebasan sipil mengalami erosi sejak 2016, dengan skor kebebasan Indonesia pada tahun 2019 sebesar 62 dari skala 0-100. Kondisi tersebut membuat Indonesia masuk dalam kategori “Negara Bebas Sebagian”.
Praktik otoritarianisme gaya baru ditampilkan dalam bentuk demokrasi palsu, dimana kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi yang dijamin dalam konstitusi, justru dianggap sebagai ancaman bagi negara. Contohnya pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia dan sebagainya. Selain itu, maraknya sejumlah pelarangan kegiatan karena berbeda pandangan, pendapat atau keyakinan kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok lain mengindikasikan bahwa demokrasi kita benar-benar sedang tidak sehat.
Dalam banyak literatur istilah otoritarianisme biasa disebut sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa memperhatikan suara rakyat.
Kecenderungan ini semakin mendapatkan bentuknya ketika sikap penguasa kerap memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat penggebuk atau penindas lawan politiknya. Seperti kasus makar yang dituduhkan kepada politikus Partai Amanat Nasional Egi Sudjana, Kivlan Zen dan korban lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu-persatu.
Kekhawatiran semakin menguat, dimana hari ini struktur pemerintahan (MPR, DPR, DPD) dikuasai oleh koalisi pemerintah, 90% parpol dapat dipastikan bergabung bersama koalisi. Sehingga kekuatan oposisi sebagai fungsi check and balances terhadap jalannya pemerintahan kurang proporsional. Jika sampai hal itu beneran terjadi, maka demokrasi hanya tinggal selogan kosong tanpa arti.
Potret buram kehidupan demokrasi kita hari ini, mengingatkan pada kondisi yang sama melalui riset Samuel Huntington terhadap konfigurasi politik di Indonesia. Di bawah pimpinan Presiden Soekarno, Indonesia menjadi entitas negara yang demokratis, kemudian mengalami arus balik di fase demokrasi terpimpin “1959-1965”, hingga mengantarkan Indonesia dibawah rezim otoriter sampai dengan Orede Baru. (Samuel P Huntington: 1991).
Gejala-gejala menuju otoritarianisme gaya baru tersebut kentara terlihat dari mulai dwifungsi Polri di banyak jabatan tinggi negara, pasal karet UU ITE yang sering jerat korban, ASN yang dilarang mengkritik pemerintah, dan mengkooptasi media massa, hingga pemblokiran media sosial. Iya, memang begitulah polanya dimainkan, rakyat dibuat untuk tidak menyadari akan keberadaanya, bahkan seolah semuanya terjadi hanya karena kebetulan semata.
“Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk. Hanya soal waktu akan pecah berantakan” (Tere Liye).
Penulis : Agus Mustawa
Editor : Siti Saira. H