Oleh: Bayu Arinanto*
Oerban.com – Desa selalu dianggap sebagai lambang dari nilai-nilai tradisional, agama yang kuat, dan komunitas yang erat. Banyak orang yang membayangkan desa sebagai tempat yang tenang, aman, dan menjaga adat istiadat dengan setia. Di desa, kehidupan berjalan lambat, orang-orang saling mengenal, dan penghormatan terhadap agama dan tradisi masih kuat. Di sisi lain, kota sering digambarkan sebagai pusat modernitas, dengan gaya hidup yang serba cepat dan individualisme yang tinggi.
Namun, realitas di lapangan seringkali mengejutkan. Fenomena paradoksal telah muncul di mana masyarakat kota justru lebih agamis, lebih menjaga adat istiadat, dan memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat desa. Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang menyebabkan terbaliknya perilaku ini?
Desa seharusnya menjadi tempat yang harmonis, di mana masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan agama. Setiap individu di desa diharapkan memiliki keterikatan yang erat dengan komunitas mereka, menjaga adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang, serta mengikuti upacara keagamaan yang memperkuat ikatan spiritual. Kehidupan di desa seharusnya ditandai dengan rasa kebersamaan, di mana gotong royong bukan hanya konsep, tetapi diterapkan dalam aktivitas sehari-hari.
Solidaritas menjadi prinsip dasar dalam berinteraksi, dengan masyarakat yang saling mendukung dan membantu dalam suka dan duka. Kepedulian terhadap sesama adalah nilai yang tidak hanya diajarkan, tetapi juga dijalani, memastikan bahwa tidak ada yang merasa terabaikan.
Di desa, rasa aman dan ketenangan seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak bisa bermain di luar tanpa rasa khawatir, dan orang dewasa bisa berjalan-jalan pada malam hari tanpa takut akan kejahatan. Desa juga seharusnya menjadi tempat di mana tradisi budaya tetap hidup, di mana generasi yang lebih tua dengan bangga mewariskan pengetahuan dan kebiasaan mereka kepada generasi berikutnya. Melalui perayaan adat, festival, dan upacara keagamaan, desa seharusnya menjaga keberlanjutan warisan budaya yang kaya, menciptakan lingkungan yang memelihara tradisi dan nilai-nilai yang membedakan desa dari kota.
Namun, kenyataan sering kali jauh berbeda dari harapan ini. Di banyak desa, nilai-nilai tradisional dan agama mulai terkikis akibat modernitas dan urbanisasi. Ketika generasi muda meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan dan pendidikan di kota, desa kehilangan sumber pewaris dari nilai-nilai yang seharusnya dimiliki oleh desa.
Kehilangan generasi muda ini menyebabkan desa menjadi lebih sunyi dan terkesan terlantar, dengan ikatan sosial yang melemah karena kurangnya aktivitas komunitas dan partisipasi publik. Selain itu, masuknya teknologi dan media sosial telah memicu penyebaran budaya kota ke desa, mengubah cara orang desa berinteraksi dan berpikir. Media sosial memfasilitasi masuknya pengaruh dari luar yang bisa mengikis nilai-nilai tradisional yang telah lama dianut oleh masyarakat desa.
Desa, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan tenang, mulai mengalami masalah keamanan. Kasus-kasus kejahatan seperti pencurian, perampokan, dan bahkan aktivitas teroris mulai muncul di desa-desa yang dulunya damai. Kehadiran elemen kriminal ini membuat desa terasa kurang aman, mengganggu rasa ketenangan yang menjadi ciri khas desa.
Sementara itu, di kota, justru banyak komunitas yang menunjukkan tingkat religiositas yang lebih tinggi dan lebih menghormati adat istiadat. Pusat keagamaan seperti masjid dan gereja selalu dipenuhi jemaat saat perayaan keagamaan, menunjukkan tingkat religiositas yang tinggi di lingkungan perkotaan. Masyarakat kota juga sering kali menikmati tingkat keamanan yang lebih baik berkat infrastruktur dan penegakan hukum yang lebih kuat.
Paradoks ini menggambarkan bahwa kota, yang biasanya diasosiasikan dengan modernitas dan individualisme, ternyata mampu menjaga tradisi dan memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan banyak desa.
Terbaliknya perilaku ini bisa dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, urbanisasi dan migrasi menyebabkan banyak generasi muda meninggalkan desa, mengakibatkan desa kehilangan sumber pewaris nilai-nilai perdesaan. Kedua, teknologi dan media sosial telah mempercepat penyebaran budaya kota ke desa, mengubah cara masyarakat desa berinteraksi dan berpikir. Ketiga, akses terhadap pendidikan agama dan fasilitas keagamaan di kota lebih luas dibandingkan desa, memberikan masyarakat kota lebih banyak peluang untuk terlibat dalam kegiatan religius. Keamanan juga menjadi faktor penting, di mana desa dengan layanan penegakan hukum yang kurang dapat menjadi tempat berlindung bagi pelaku kejahatan.
Paradoks jargon desa menunjukkan bahwa desa dan kota mungkin tidak lagi memiliki peran yang kita bayangkan. Desa, yang seharusnya menjadi benteng nilai-nilai tradisional, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitasnya. Masyarakat desa perlu melakukan upaya untuk merevitalisasi ikatan sosial dan menjaga tradisi serta adat istiadat. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong partisipasi komunitas, memperkuat kegiatan keagamaan, dan menciptakan lingkungan yang aman. Sementara itu, masyarakat kota dapat terus menjaga nilai-nilai tradisional sambil tetap memanfaatkan kemajuan modernitas.
Dengan memahami perubahan ini, kita dapat mengatasi paradoks dan menciptakan keseimbangan antara desa dan kota yang memungkinkan kedua komunitas tumbuh dan berkembang tanpa kehilangan identitas mereka.
*penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintah Universitas Jambi.