Oleh: Ilham Thoriq Hidayatulloh*
Oerban.com — Ilmu Kalam merupakan cabang ilmu dalam tradisi keilmuan Islam yang membahas persoalan-persoalan akidah secara rasional dan sistematis. Secara etimologis, kata ilmu berarti pengetahuan, sementara kalam berarti pembicaraan atau diskursus.
Pada awal perkembangannya, disiplin ini dikenal sebagai ilmu tauhid, namun seiring waktu, berkembang menjadi suatu bidang yang lebih kompleks dan mendalam dengan nama ilmu kalam.
Fokus utamanya adalah pembuktian kebenaran akidah Islam melalui pendekatan argumentatif yang melibatkan dalil-dalil aqli (rasional) dan naqli (tekstual dari Al-Qur’an dan Hadis).
Tokoh-tokoh Islam klasik memberikan berbagai definisi mengenai ilmu ini. Ibnu Khaldun, misalnya, melihat ilmu kalam sebagai perangkat argumentasi logis untuk mempertahankan keyakinan dalam iman serta sebagai benteng untuk melawan pemikiran yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah.
Sementara itu, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa ilmu kalam tidak hanya membahas keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga karakteristik para rasul dalam menegakkan kebenaran risalah mereka.
Dalam konteks kontemporer, ilmu kalam menghadapi dua tantangan besar, yaitu radikalisme dan sekularisme. Keduanya menimbulkan dampak serius terhadap pemahaman masyarakat mengenai agama dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Radikalisme: Pemikiran Ekstrem yang Mengancam Kesatuan
Radikalisme berasal dari akar kata Latin rudix yang berarti “akar”, yang secara terminologi mengacu pada upaya perubahan secara total dan mendasar terhadap suatu sistem atau struktur yang ada.
Dalam konteks sosial-keagamaan, radikalisme muncul sebagai gerakan yang mengusung pandangan ekstrem terhadap agama, menolak kompromi, serta menolak sistem sosial dan politik yang dianggap menyimpang dari kebenaran absolut versi mereka.
Karakteristik radikalisme umumnya meliputi sikap intoleransi terhadap perbedaan, fanatisme berlebihan terhadap keyakinan sendiri, eksklusivisme sosial, dan kecenderungan menggunakan cara-cara kekerasan atau revolusioner dalam mencapai tujuan.
Salah satu implikasi berbahaya dari gerakan ini adalah politisasi agama, di mana ajaran agama dijadikan alat justifikasi tindakan ekstrem yang mengancam perdamaian sosial.
Dalam hal ini, Ilmu Kalam memainkan peran penting sebagai media klarifikasi ajaran Islam yang sejati. Melalui pendekatan rasional dan argumentatif, Kalam mampu menyajikan narasi Islam yang menolak kekerasan dan menjunjung tinggi toleransi serta kasih sayang.
Ajaran-ajaran inti Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, menekankan pentingnya sikap saling menghormati dan kasih sayang, bahkan terhadap pemeluk agama lain.
Ilmu Kalam juga dapat digunakan untuk mengkritisi dan membongkar konstruksi ideologi radikal yang kerap memutarbalikkan teks-teks agama demi kepentingan kelompok tertentu.
Dengan membekali umat dengan pemahaman akidah yang benar dan menyeluruh, Kalam menjadi benteng ideologis yang ampuh dalam menangkal gerakan ekstremisme dan radikalisme.
Sekularisme: Pemisahan Agama dari Ranah Publik
Tantangan lain yang tidak kalah serius adalah sekularisme. Ideologi ini menganut prinsip pemisahan agama dari berbagai aspek kehidupan publik seperti hukum, pendidikan, dan politik.
Berakar pada filsafat positivisme, sekularisme menganggap agama sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak memiliki dasar epistemologis yang kuat, berbeda dengan sains yang dianggap objektif dan terverifikasi secara empiris.
Penyebaran sekularisme di dunia Islam, termasuk Indonesia, banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa. Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh penjajah seringkali mengadopsi nilai-nilai sekular, yang kemudian perlahan-lahan menggantikan sistem pemerintahan Islam berbasis syariat.
Akibatnya, terjadi pergeseran otoritas dalam bidang hukum, etika, dan nilai-nilai kehidupan yang sebelumnya dilandaskan pada agama.
Di sinilah peran Ilmu Kalam kembali menjadi signifikan. Sebagai ilmu yang mendalami persoalan akidah dan keimanan, Kalam membantu membentuk pemahaman bahwa Islam tidak bertentangan dengan kehidupan modern.
Sebaliknya, Islam memuat nilai-nilai universal yang mampu bersinergi dengan kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan aspek spiritualitas.
Strategi Kalam dalam Menghadapi Sekularisme
Dalam menghadapi sekularisme, Ilmu Kalam memiliki tiga kontribusi utama:
1. Memperkuat Pemahaman Akidah dan Tauhid
Dengan membekali umat dengan pengetahuan yang kokoh mengenai akidah dan tauhid, Kalam mampu meningkatkan daya tahan umat terhadap arus pemikiran yang ingin menyingkirkan peran agama.
Selain itu, Kalam menyediakan argumentasi yang rasional untuk membantah klaim-klaim sekularisme yang meremehkan posisi agama dalam kehidupan publik.
2. Menegaskan Peran Strategis Agama dalam Masyarakat
Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga horizontal antar manusia dan lingkungan sosialnya.
Dalam pandangan Kalam, agama memiliki otoritas dalam membentuk etika sosial dan kebijakan publik. Oleh karena itu, sekularisasi yang mencoba mengisolasi agama dari ruang publik bertentangan dengan pandangan Islam yang holistik.
3. Membentuk Kepemimpinan yang Berbasis pada Akidah
Ilmu Kalam juga penting dalam membentuk pemimpin yang memahami prinsip-prinsip akidah dan bertindak atas dasar nilai-nilai keimanan. Kepemimpinan semacam ini diyakini mampu menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkeadaban.
Dalam Islam, pemimpin bukan hanya bertanggung jawab secara administratif, tetapi juga secara moral dan spiritual kepada rakyat dan kepada Tuhan.
Ilmu Kalam bukan hanya warisan intelektual Islam masa lalu, tetapi juga sebuah instrumen strategis dalam menghadapi dinamika zaman modern.
Di tengah gempuran radikalisme dan sekularisme, Kalam hadir sebagai penjaga kemurnian ajaran Islam serta sebagai pengarah umat agar tetap berjalan di jalan tengah yang toleran dan rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karena itu, revitalisasi pemahaman dan pengajaran Kalam menjadi sangat penting, khususnya dalam pendidikan Islam masa kini, agar generasi mendatang tidak terjebak dalam ekstremisme maupun tergerus oleh arus sekularisme.
*Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam
Universitas Raden Mas Said Surakarta