Oleh: Ghina Syauqila
Sarjana Psikologi UNJA
Kehidupan di dunia yang penuh lika-liku seringkali memicu kekecewaan, amarah, kecemasan, perasaan tertekan, serta keputusasaan yang muncul mengguncang diri, bahkan tak jarang berujung depresi. Pada umumnya, emosi-emosi negatif tersebut timbul karena adanya harapan yang tidak terpenuhi.
Sebenarnya, setiap saat kehidupan manusia diwarnai dengan harapan. Harapan untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik, harapan untuk dapat meniti jenjang karier yang diidamkan, harapan untuk mencapai kesuksesan di masa depan, harapan untuk diterima dan dicintai, dan lain-lain.
Tapi yang harus dipertanyakan oleh diri kepada tiap masing-masing diri sendiri adalah, “kepada siapa sebenarnya kita berharap?” Di sinilah orang-orang seringkali keliru. Sebelum melangkah lebih jauh, harapan yang digantungkan pada tujuan yang keliru akan bertepi pada kesedihan, kegamangan, kekecewaan, dan emosi-emosi negatif jika tidak terwujud atau tercapai.
Manusia memiliki kodrat sebagai makhluk yang mampu mengalami pengalaman spiritual, di mana kehadiran pengalaman spiritual sepanjang kehidupan manusia tersebut, seperti rasa kagum kepada kebesaran Tuhan, rasa syukur kepada karunia Tuhan, menyadari kasih sayang dan cinta sempurna Tuhan, serta memiliki keinginan hati untuk lebih mengenal Tuhan menjadi indikator yang membuktikan peneguhan eksistensi manusia sebagai makhluk spiritual. Sayangnya, banyak manusia yang melupakan hakikatnya sebagai makhluk spiritual yang diciptakan Tuhan dan Tuhan memiliki kuasa atas dirinya.
Ketika seseorang merasa stres, seseorang cenderung melakukan suatu hal untuk melampiaskan emosinya, di mana pelampiasan stres ini dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Contoh pelampiasan stres yang bersifat positif atau bahasa terkini fenomenalnya adalah self-healing, yaitu menulis suatu karya, membaca buku, berekreasi, atau melakukan hobi yang diminati. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa sebenarnya zikir, doa, dan beribadah kepada Tuhan adalah bentuk self- yang paling ampuh.
Namun, ada juga pelampiasan stres secara negatif yang dicontohkan dengan perilaku merokok, mengonsumsi minum-minuman keras, pornografi, menyakiti orang lain atau melukai hewan, membalaskan dendam, membenci orang lain, mencuri, narkoba, pergaulan bebas, dan sebagainya.
Betapa banyak orang yang jatuh tergeletak tak berdaya dalam kehidupan yang semakin terasa menyiksa akibat hal negatif yang dilakukan di saat mereka sebenarnya mampu memilih untuk menyikapinya dengan positif, sehingga permasalahan hidup menjadi berbuntut panjang dan tak kunjung selesai. Bahkan, segelintir memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Salah satu pemicu stres terbesar dan paling sering berdampak dalam kehidupan adalah karena berharap kepada selain-Nya.
Percaya atau tidak, spiritualitas sebenarnya kunci dari segala kepuasan dan kebermaknaan hidup, kebahagiaan yang melimpah, dan kedamaian hati. Menurut Aditama (2017), seseorang dengan spiritualitas yang tinggi dapat dicirikan dengan tanda-tanda khusus sebagai berikut:
1) Memercayai adanya kekuasaan dan kehendak Tuhan dalam kehidupannya, sehingga apabila ia mengalami suatu permasalahan, ia tidak akan berputus asa karena yakin pertolongan Tuhan amatlah dekat;
2) Mendedikasikan semua ibadah, amal, dan aktivitasnya sehari-hari dalam hidup untuk Tuhan dan sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan karena Tuhan adalah tujuan hidupnya, sehingga kesehariannya selalu dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan bermanfaat;
3) Ulet dan gigih dalam mengembangkan diri, mengasah potensi diri, berkarya, dan berprestasi sebagai salah satu bentuk kebersyukuran pada Tuhan atas apa yang dianugerahkan-Nya untuk dirinya;
4) Tak pernah enggan untuk senantiasa belajar atau menuntut ilmu karena menyadari proses belajar dan ilmu adalah kegiatan untuk lebih mengenal-Nya;
5) Tidak menganggap apa yang berhasil dicapai dalam hidup, seperti harta, tahta, karier, prestasi, atau cinta dari orang lain sebagai kepuasan tertinggi, melainkan kepuasan tertinggi baginya adalah berhasil mencapai kedekatan dengan Tuhan, kesempurnaan cinta Tuhan, kenikmatan dalam beribadah, dan kebermanfaatan diri bagi orang lain;
6) Menyadari adanya penderitaan dan kematian. Individu yang memiliki spiritualitas tinggi akan memahami bahwa dunia adalah tempat pengetesan untukmenguji iman seseorang sekaligus tempat untuk menjadi sebenar-benar hamba yang taat kepada-Nya, sementara akhirat adalah kehidupan yang kekal.
Dari karakteristik di atas, jelaslah bahwa seseorang dengan spiritualitas yang tinggi akan lebih menghargai masa-masa dalam hidupnya; menganggap permasalahan sebagai ujian pendewasaan diri dan maksud kehadirannya adalah ingin mendatangkan kebaikan semata; hidup sederhana namun penuh makna; selalu percaya bahwa di balik kesulitan, akan ada keajaiban dan kejutan terindah dari Tuhan sebagai hadiah atas kesabaran dan kelapangan hatinya; serta senantiasa berjuang untuk memperbaiki diri dan menebar kebaikan pada orang banyak.
Dengan demikian, seseorang tersebut akan lebih mudah dalam meraih kebahagiaan yang autentik, utuh, dan menyeluruh. Oleh karenanya, spiritualitas adalah kunci utama dari kehidupan positif dan produktif. Spiritualitaslah yang akan melatarbelakangi dan menunjang kualitas hidup seseorang.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini