Penulis: Novita Sari
“Selamat tinggal pandemi, halo endemi!” ucap masyarakat dunia kini, merayakan merosotnya angka kasus virus Covid-19 secara drastis.
Yap. Masyarakat dunia tengah mempersiapkan era endemi yang ditunjukkan dengan pelonggaran protokol kesehatan dan keberlangsungan new normal. Salah satu bukti new normal sedang berlangsung dibuktikan oleh dibukanya kembali ruang publik, seperti pusat-pusat perbelanjaan, mal, dan pertokoan seperti sediakala, menyediakan akses bagi masyarakat luas untuk beraktivitas aktif di dalamnya, salah satunya berbelanja.
Pusat perbelanjaan, mal, dan pertokoan kini menjadi incaran empuk bagi orang-orang yang ‘rindu belanja’ setelah beberapa tahun tidak bisa berbelanja dengan leluasa secara langsung. Masyarakat tentu dapat berbelanja secara online, tapi tentu sensasi yang dirasakan jauh berbeda dengan berbelanja secara langsung. ‘Kerinduan’ akan berbelanja secara langsung ini dapat memicu fenomena revenge spending atau balas dendam belanja loh, Sahabat.
Revenge spending adalah fenomena berbelanja secara impulsif yang didorong oleh pelampiasan stres dan keinginan balas dendam sebagai kompensasi karena tidak dapat berbelanja dalam rentang waktu yang lama—dalam hal ini selama pandemi Covid-19. Ketika masa pandemi, ruang gerak masyarakat dibatasi dengan sangat ketat, salah satunya dengan diberlakukannya lockdown yang menuntut penutupan tempat-tempat publik dan sempitnya peluang untuk beraktivitas di luar rumah, salah satunya masyarakat tidak bisa berbelanja. Karena itu, keinginan berbelanja yang terpendam ini bertumpuk dan pada akhirnya meledak melalui dorongan melakukan revenge spending.
Nah, apakah Sahabat pernah merasakan dorongan ingin melakukan revenge spending? Tentu kita dapat memperkirakan dampak yang ditimbulkan dari berbelanja secara impulsif ini, seperti pemborosan, timbulnya perilaku konsumtif yang merugikan, serta berkurangnya kontrol diri yang akan berujung pada penyesalan. Masih untung apabila Sahabat hanya baru merasakan sebatas dorongan revenge spending saja. Jika dorongan ini muncul, apa yang sebaiknya Sahabat lakukan agar tidak kebablasan berbelanja?
Ada beberapa tips yang dapat Sahabat coba:
Menyadari bahwa dorongan revenge spending sebaiknya tak dituruti
Sadarilah bahwa dorongan melakukan sesuatu yang impulsif, salah satunya revenge spending ini, adalah bagian dari kehendak ego kita yang dapat berujung pada kerugian, sehingga sebaiknya tidak dituruti. Sama halnya seperti kita memiliki penyakit maag, namun sedang ingin makan seblak pedas. Jika dituruti, bukankah malah akan membuat lambung pedih?
Mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan
Masih sama seperti ilustrasi sakit maag pada poin pertama, kita dapat mensubstitusi apa yang ingin kita makan dengan alternatif lain yang dapat membuat lambung kita tetap baik-baik saja. Bisa jadi saja tetap seblak, tapi tidak pedas. Konsep seperti ini berlaku pula pada revenge spending. Bedanya alternatif yang dimaksud pada kasus revenge spending adalah Sahabat berbelanja apa-apa yang dibutuhkan saja. Sahabat bisa melihat barang-barang apa yang Sahabat perlukan sehari-hari, maka itulah yang Sahabat butuhkan. Memilah-milah apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan juga ampuh untuk menekan dorongan revenge spending.
Memetakan penggunaan budget
Sahabat, tentu kita tidak ingin budget yang kita miliki tergerus habis hanya untuk berbelanja, bukan? Masih banyak keperluan urgen lain yang juga membutuhkan budget tak sedikit. Maka dari itu, Sahabat harus memahami berapa budget yang dimiliki dan melakukan pemetaan yang bijak. Misalnya berapa persen yang digunakan untuk berbelanja, yang digunakan untuk membayar tagihan listrik dan air, yang digunakan untuk membayar uang sekolah anak, dan sebagainya.
Lampiaskan dorongan ‘balas dendam belanja’ dengan kebersyukuran dan mindfulness
Sahabat, kita bisa mengalihkan dorongan revenge spending kepada bentuk pelampiasan yang lebih positif, contohnya dengan bersyukur karena kita telah berhasil melewati masa pandemi yang berat dan lebih memaknainya secara sadar. Contohnya, kita dapat mengenang masa-masa tak mengenakkan selama pandemi berlangsung dan membandingkannya dengan keadaan sekarang yang telah lebih baik.
Nah, itu dia tips-tipsnya. Sebenarnya tidak salah bila kita membeli barang yang kita inginkan, asal kita tak kalap dan tetap bijaksana dalam mengatur, mengelola, serta menggunakan uang ya, Sahabat!