Oleh : Ihwang Syaputra
Oerban.com — Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Data dari World Population Review mencatat bahwa lebih dari 70% pria Indonesia adalah perokok aktif, menjadikan negeri ini sebagai pemegang rekor tertinggi dalam hal prevalensi perokok laki-laki di dunia. Ini bukan sekadar persoalan gaya hidup atau kebiasaan, tapi telah menjadi krisis nasional yang menyentuh banyak aspek: kesehatan, ekonomi, bahkan generasi masa depan.
Rokok seringkali dibahas dari sisi medis karena menjadi penyebab berbagai penyakit mematikan seperti kanker, jantung, dan gangguan pernapasan. Namun, persoalan ini jauh lebih kompleks.
Rokok adalah jebakan ekonomi, terutama bagi masyarakat miskin. Berdasarkan data BPS, pengeluaran rumah tangga terbesar kedua setelah beras adalah rokok.
Di perkotaan, pengeluaran untuk rokok mencapai 12,21%, dan di pedesaan 11,63%. Ironisnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut bahwa keluarga miskin menghabiskan rata-rata Rp 246.382,00 per bulan untuk rokok.
Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli makanan bergizi bagi anak-anak, justru dibakar menjadi asap beracun.
Dan asap inilah yang menjadi masalah lebih besar. Rokok tidak hanya membunuh perokok aktif, tetapi juga mereka yang tidak merokok (perokok pasif).
Data dari WHO menunjukkan bahwa rokok membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun, dan 1,2 juta di antaranya adalah perokok pasif.
Di Indonesia, anak-anak menjadi korban utama. Studi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa sekitar 57% anak-anak Indonesia terpapar asap rokok di rumah.
Asap rokok sangat berbahaya bagi anak-anak. Saluran pernapasan mereka masih dalam tahap perkembangan, dan paparan asap dapat menyebabkan infeksi saluran napas, asma, bahkan kematian mendadak (sudden infant death syndrome).
Ini adalah kekerasan tak kasat mata terhadap generasi yang belum bisa memilih, belum bisa membela diri.
Ketika rokok menjadi “prioritas” pengeluaran kedua setelah beras, dan anak-anak menjadi korban langsung dari asap beracunnya, kita harus bertanya: di mana posisi negara? Apakah regulasi, edukasi, dan penegakan hukum sudah memihak pada rakyat, atau masih tunduk pada kepentingan industri rokok?
Kita tidak bisa terus-menerus memaklumi rokok sebagai bagian dari budaya. Negara harus tegas: batasi iklan rokok, naikkan harga, dan larang perokok merokok di ruang publik terutama yang banyak anak-anak.
Edukasi harus masuk hingga ke desa-desa, ke rumah-rumah, bahwa merokok bukan hanya menyakiti diri sendiri, tapi juga orang-orang tercinta di sekitar.
Rokok bukan simbol kebebasan. Ia adalah simbol keterikatan pada kebiasaan yang membawa kerugian berlapis fisik, ekonomi, sosial, dan generasi masa depan.
Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang sehat dan berdaya saing, maka perang terhadap rokok harus dimenangkan.
Dan itu dimulai dari kesadaran bersama: bahwa setiap isapan rokok, adalah hutang yang dibayar mahal oleh anak-anak yang kita cintai.
*Penulis merupakan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi