Kebijakan Sinisme ini dampaknya bagi ummat Islam adalah seperti dua mata pisau yang tajam:
Sisi Pertama
Ummat Islam yang berkeinginan keras mempertahankan akidah mereka akan terkucil secara sosial karena akan menjauhi tradisi masyarakat mayoritas (Han) yang bertentangan dengan akidah Islam , seperti makan daging babi dan minum arak, menyembah arwah leluhur serta menikah dengan orang di luar muslim. Banyak Muslim atau Muslimah yang menikah dengan suku Han harus rela mendapati suami atau Istri mereka suku Han masih mengikuti tradisi sehari-hari yang bertentangan dengan syariat.
Sisi kedua
Bagi Ummat Islam yang memilih jalan kompromi pada akhirnya akan menyebabkan perubahan cara pandang mereka terhadap agama mereka sendiri, namun mereka mendapat kepercayaan pemerintah untuk menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Dan memperkuat opini sejarah bahwa penerapan kebijakan sinisme adalah langkah politik untuk mengembalikan Cina kepada Identitas Bangsa Han sebagai Suku dan Budaya bukan dimaksudkan sebagai wujud kebencian.
Dinasti Qing (1644-1912)
Pada masa awal pemerintahan dinasti Qing, Ummat Islam mendapat perlakuan yang sangat keras dari kaisar yang memerintah meski kemudian berangsur membaik pada masa kekaisaran yang lain dalam Dinasti ini.
Akan tetapi kuatnya tekanan Rusia dan Inggris yang tidak menghendaki entitas muslim didaratan China menjadi besar menyebabkan pemerintah Dinasti Qing berubah menjadi keras terhadap ummat Islam. Setidaknya tercatat ada lima kali pertempuran antara ummat Islam dengan dinasti Qing menyebabkan 10 juta ummat Islam terbunuh dalam perang.
Namun perlawanan dari ummat Islam tidak kunjung padam bahkan mampu menggalang Revolusi Rakyat bersama susku-suku yang lain yang berujung pada berdirinya Republik China.
Sinicization di Propinsi Xinjiang
Sekarang kita masuk ke dalam apa yang di alami komunitas muslim Uyghur sebelum nanti kita masuk ke bagian penutup tulisan ini.
Xinjiang sesuai namanya yang secara harfiah adalah daerah baru, merupakan propinsi terakhir yang berintegrasi ke Republik Rakya China. Sebelumnya daerah ini bernama Republik Turkistan Timur.
Republik Turkistan Timur di bentuk pada tahun 1932 dan bertahan hingga tahun 1949, berakhir lewat pendudukan secara militer oleh pasukan pembebasan rakyat RRC, sebagaimana yang di lakukan mereka terhadap Propinsi Tibet dan Mongolia.
Pendudukan tentara pembebasan RRC juga sekaligus mengawali sebuah gerakan Revolusi Budaya di daerah ini, Revolusi ini di duga sebagaimana yang di lakukan Stalin di Uni Soviet untuk merujuk bagaimana kerasnya upaya mereka untuk menghapus identitas Islam dari suku Uyghur yang menjadi warga mayoritas, termasuk melarang orang mempelajari Bahasa tulis yang memiliki unsur huruf Arab dan dipengaruhi oleh Arab.
Apa yang di lakukan RRC di daerah ini meniru apa yang telah di lakukan Dinasti Ming secara menyeluruh untuk penduduk di luar Etnis Han dengan menggunakan segenap kekuatan dan kekuasaan yang di miliki oleh pemerintah berkuasa.
Dalam berbagai kasus kekerasan, pemerintah China juga sering menyalahkan kelompok muslim di Xinjiang terkait serangan-serangan kepada polisi dan target pemerintah dengan tuduhan afiliasi kepada kelompok Al-Qaidah atau ISIS untuk mendirikan negara merdeka yaitu Turkistan Timur. Turkistan Timur sendiri pernah berdiri di tahun 1932 jauh sebelum RRC berdiri tahun 1949. Terbentuknya Turkistan Timur saat itu jauh dari sebuah pemberontakan karena memang RRC sendiri belum resmi berdiri.
Saat ini, kebanyakan pemimpin Turkistan Timur berada di pengasingan dan kebanyakan mereka berideologi sekuler dan kesukuan belaka.