email : [email protected]

28.5 C
Jambi City
Saturday, November 23, 2024
- Advertisement -

Catatan KontraS di Hut ke-77 TNI: Budaya Kekerasan Tak Kunjung Usai

Populer

Jakarta, Oerban.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi sejumlah catatan pada HUT ke-77 TNI. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan, saat ini sedang merebak fenomena agenda militerisme yang mana menjadikan instrumen kekuatan militer sebagai pendukung jalannya kekuasaan, hal ini tercermin dalam berbagai tindakan.

“Dalam kurun setahun ini saja, anggota militer aktif ataupun yang berstatus Purnawirawan tak malu menunjukan eksistensi untuk duduk di posisi strategis dalam kancah perpolitikan,” ujar Fatia dalam keterangan tertulis, Selasa (4/10/2022).

“Berbagai langkah pun dilakukan, seperti halnya upaya menempatkan TNI di jabatan Kementerian hingga ditempatkannya TNI pada jabatan Penjabat (Pj) Kepala Daerah,” imbuhnya.

Tak hanya sampai disitu, Fatia menyebut KontraS juga turut menyoroti berbagai langkah yang diambil untuk menjadikan sipil berwatak militer. Hal tersebut tergambar misalnya dengan pengaktifan komponen cadangan berdasar Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) dan Resimen Mahasiswa (Menwa) menjadi komponen pertahanan.

“Situasi ini tentu semakin memperparah konflik horizontal di tengah masyarakat seperti halnya dalam demonstrasi ataupun ragam konflik agraria di berbagai wilayah tanah air,” ucapnya.

Fatia melanjutkan, masalah lainnya yang tak kunjung usai tentu saja budaya kekerasan di tubuh institusi militer. Berdasarkan pemantauan KontraS selama periode Oktober 2021 – September 2022, telah ditemukan sebanyak 61 peristiwa kekerasan melibatkan anggota TNI.

“Tidak jarang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI diselesaikan lewat jalur damai dan tidak terliput oleh media nasional maupun lokal. Angka yang kami catat tahun ini juga meningkat dari laporan tahunan sebelumnya yang menunjukan terdapat 54 peristiwa,” jelasnya.

Fatia menambahkan, kekerasan juga terus berlanjut di Bumi Cenderawasih. Situasi ini tak lepas dari pengaruh militeristik yang sangat kental yang pemerintah Indonesia masih percayai dapat menyelesaikan permasalahan struktural di Papua. Pasukan silih berganti terus diturunkan menempati pos-pos militer. Pendekatan yang dipilih ini akhirnya menciptakan terus jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda bagi warga sipil di Papua.

Baca juga  Kunjungi Ketua DPD RI, Panglima TNI Dukung Aparat Tak Represif ke Mahasiswa

“Hal ini memantik trauma berkepanjangan yang dialami Orang Asli Papua (OAP) atas parade kekerasan yang terjadi. Nama operasi memang silih berganti, sayangnya watak aslinya tak kunjung mengalami perbaikan signifikan. Pendekatan yang dibangun dengan pengerahan aparat gabungan TNI-Polri juga hanya memantik kontak tembak lanjutan yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat sipil yang tak bersalah. Sayangnya, pendekatan yang dipilih tersebut tanpa mekanisme koreksi yang layak,” terang Fatia.

Selain itu menurut Fatia, sejumlah langkah dan wacana yang ada dalam kurun waktu setahun terakhir mengindikasikan Indonesia kembali ke jurang militerisme. Menguatnya peran militer untuk mengokupasi ruang sipil menjadi salah satu penandanya.

Hal ini, lanjut dia, harus dijadikan sebagai masalah serius institusi khususnya dalam hal profesionalitas TNI dalam kerangka negara demokrasi. Begitupun dalam konteks militerisasi sipil, berbagai metode yang tak relevan harus dihentikan karena justru kontraproduktif terhadap agenda penguatan pertahanan.

Oleh karena itu, Fatia menegaskan KontraS mendesak Presiden RI beserta jajarannya untuk melakukan moratorium kebijakan dan mengevaluasi secara serius permasalahan yang ada pada tubuh kemiliteran.

TNI, jelasnya, harus dituntut untuk profesional menyelesaikan tugas-tugas pokoknya yakni dalam sektor pertahanan sesuai amanat UU TNI. Presiden juga harus menegur bawahannya yang terus berupaya untuk menyeret kembali TNI masuk ke ranah sipil.

Lalu, KontraS juga mendesak Menteri Pertahanan RI untuk menghentikan segala aktivitas yang dilakukan oleh Komcad, karena proses uji materi terhadap UU PSDN masih berjalan di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Komcad juga berpotensi menghadirkan konflik di tengah-tengah masyarakat.

“Segala bentuk untuk memiliterkan warga sipil juga harus dihentikan. Ketimbang memiliterisasi sipil, lebih baik TNI memperkuat kelembagaan dan melakukan modernisasi alutsista,” terang Fatia.

Baca juga  RENTETAN PERISTIWA PENGKHIANATAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

Selanjutnya, KontraS meminta Panglima TNI untuk menyusun strategi guna memutus rantai kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat. Pengawasan yang dilakukan oleh atasan antar satuan tingkatan harus ketat untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran.

Adapun para pelaku kekerasan, ucap Fatia, harus bertanggung jawab lewat mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel agar memantik efek jera. Panglima TNI juga harus mengarusutamakan hak asasi manusia dalam regulasi atau kebijakan yang diterbitkan agar nilai tersebut terinternalisasi secara baik terhadap para prajurit.

KontraS menegaskan, Pemerintah bersama DPR juga harus menghentikan segala bentuk pendekatan militeristik dan sekuritisasi di Papua. Metode penerjunan aparat dan pendirian posko militer harus dievaluasi karena terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua.

“Pendekatan atau operasi harus mengedepankan cara-cara persuasif dan tidak mengedepankan kontak senjata utamanya dalam menghadapi kelompok yang ingin memisahkan diri. Sebab pendekatan dengan senjata juga akan berimplikasi pada jatuhnya korban sipil,” tuturnya.

Terakhir, Fatia meminta lembaga pengawas eksternal harus secara kritis mengawasi kinerja TNI khususnya dalam sektor hak asasi manusia. Komisi 1 DPR selaku lembaga yang juga memiliki fungsi regulasi harus mendorong revisi terhadap UU Peradilan Militer karena sejauh ini terbukti sebagai sarang impunitas prajurit dan bertentangan dengan asas equality before the law.

“Komnas HAM dan Ombudsman RI harus bertindak proaktif saat terjadi pelanggaran yang melibatkan institusi militer sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Begitupun LPSK, harus bertindak segera untuk memberikan reparasi dan perlindungan terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum/HAM yang melibatkan TNI,” pungkas Fatia.

Editor: Renilda Pratiwi Yolandini

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru