OLEH: KUSNAN SAYUTI*
(Bagian I)
Statement Pertama
“ Amerika memiliki agenda di belakang permasalahan Uyghur di karenakan perang dagang yang sedang berlangsung antara China dan Amerika”
Statement Ke dua
“Konflik di Uyghur tidak seperti yang di beritakan media, jika kita berkunjung ke China (di wilayah lain) maka dapat kita temui masjid dan tempat ibadah agama lain yang pemeluknya bisa menjalankan kegiatan ke agamaan di dalamnya dengan mudah”
Dua statement di atas sering kita dapati seiring dengan mengemukanya kasus penindasan muslim Uyghur ke permukaan sehingga membangkitkan muslim solidaritas di seluruh penjuru dunia. Penulis katakan bahwa argumen di atas benar tapi kesimpulannya yang salah.
Bahwa memang saat ini terjadi perang dagang antara China dan Amerika, tapi menarik kesimpulan bahwa Amerika berperan di belakang permasalahan Uyghur adalah sangat gegabah. Karena jika kita tarik sejarahnya penindasan etnis muslim di sana sudah jauh berlangsung sebelum perang dagang itu sendiri terjadi, bahkan sebelum China resmi menjadi sebuah negara.
Bahwa jika kita berkunjung ke China kita akan mendapati suasana yang berbeda itu benar, tapi menyimpulkan bahwa itulah wajah asli politik China adalah salah kaprah. Karena China terlalu cerdik untuk membiarkan konflik tersebut menjadi masalah nasional yang dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi di negara nya, namun bahwa China mengalienasi Uighur adalah sebuah fakta yang banyak di sorot warganya sendiri ( tentu yang tidak menjadi bagian Partai Komunis), jurnalis dan ilmuwan internasional.
Sewaktu penulis tinggal di Auckland, Selandia Baru. Penulis banyak bertanya kepada orang-orang asli China yang merantau ke Auckland tentang kebenaran peristiwa yang terjadi terhadap muslim Uyghur, awalnya mereka tidak mengenal apa itu Uyghur karena di sana Uyghur di kenal dengan istilah suku Hui, yaitu suku yang identik sebagai pemeluk agama islam di seluruh China. Rata-rata mereka membenarkan tindakan represif Partai Komunis atau pemerintah terhadap minoritas suku Uyghur di sana, mereka membenarkan bahwa pemerintah membangun penjara-penjara yang di dunia internasional di kabarkan sebagai sekolah. Sekolah-sekolah tersebut justru membenarkan adanya program Sinicization atau Hanification di propinsi Xinjiang.
Sinicization adalah suatu proses membentuk masyarakat non-China atau non-Tionghoa untuk berada di bawah pengaruh budaya China secara luas bahkan meliputi politik, filsafat dan agama. Proses ini juga kerap di sebut sebagai Hanification, merujuk kepada suku Han adalah mayoritas suku yang menjadi penduduk China, menyebut China berarti juga mereka yang berdarah Han yang juga tersebar ke seluruh dunia, mereka yang tersebar ke seluruh dunia iu disebut sebagai Tionghoa perantauan (Huajiao, Hokkian:Hoakiauw). (Dru.C.Gladney, Muslim Chinese: Ethnic Nationalism in the People’s Republic, Hardvard college.1996:315)
Suku-suku minoritas selain Han yang ada di China dapat dilihat dalam table berikut:
*) Sumber Tabel dari Ensiklopedia Peradaban Islam: China Muslim, Tazkia Institute.2012;12
China Daratan memiliki Empat Daerah Otonomi Khusus atau Administrative Region yaitu: Propinsi Inner Mongolia, Propinsi Xinjiang, Propinsi Tibet serta Propinsi Guangxi. Tiga Propinsi selain Guangxi mengalami proses sinicization dan dalam sejarahnya senantiasa mengalami benturan dengan suku Han yang menempati daerah tersebut baik di sengaja lewat program migrasi pemerintah china maupun mandiri.
Ambil contoh Propinsi Mongolia yang di ambil alih China setelah lepas dari Uni soviet, pernah terjadi gelombang protes besar-besaran dan ingin memisahkan diri dari China sebagaimana terjadi di Hongkong sekarang. Hal ini di picu oleh benturan individu etnis mongol dengan Han yang menyebabkan terbunuhnya dua orang mongol saat itu.
Propinsi Tibet hingga saat ini masih menjalani konflik dengan China, karena seperti halnya Propinsi Xinjiang, keduanya memilliki persamaan historis dengan latar belakang ke agamaan yang kenal. Tibet sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh Dalai lama yang sudah coba di bersihkan sejak Tentara merah komunis China menyerbu dan menduduki wilayah ini, unsur agama ini yang menjadi pemicu pertentangan di dua propinsi tersebut dari upaya yang di lakukan Partai Komunis China dalam hubungannya dengan proses sincization.
Propinsi Xinjiang mayoritas penduduknya adalah Muslim, setidaknya sampai tulisan ini di buat komposisi suku Uyghur yang mendiami Propinsi ini berjumlah 47% dan Suku Han berjumlah 40% sisanya adalah suku-suku yang lain. Jumlah ini jauh merosot di bandingkan ketika Propinsi ini baru terintegrasi ke China, waktu itu jumlah suku Uyghur Muslim adalah 90% dan suku Han adalah 6% dan sisanya suku yang lain. (Alwi Alatas dalam Artikel Pasang Surut Islam di China, Hidayatullah.com, Februari 2010)
Jika kita berpendapat bahwa apa yang di lakukan Partai Komunis China dalam membentuk satu identitas China juga di terapkan untuk semua agama yang ada di China itu memang benar, akan tetapi untuk konteks Islam yang ajaran utamanya adalah Tauhid, proses penyatuan budaya tentu tidak bisa berjalan secara mulus, terlebih untuk budaya-budaya asli China yang bertentangan dengan Tauhid. Belum lagi dari asfek-asfek yang lain, karena islam sebagai agama juga berfungsi sebagai ideology bagi pemeluknya yang mengatur segenap asfek kehidupan; Ekonomi, Politik, Sosial dan kebudayaan.
Dahulu sejak kalifah Utsman bin Affan secara resmi menyebarkan dakwah Islam ke negeri China dengan di utusnya delegasi yang di pimpin oleh Sa’ad Bin Abi Waqqas, pengejawantahan nilai Tauhid pun sudah berbenturan dengan adat istiadat di China yang pada waktu itu di perintah oleh kaisar dari Dinasti Tang (618-906 M). Kaisar terkejut ketika para utusan Kalifah tersebut tidak bersedia bersujud seperti kebiasaan orang-orang ketika menghadap kaisar pada waktu itu.