Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Rocky Gerung (RG) telah memberi ceramah 10 menit yang menakjubkan dalam rapat perdana Majelis Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Pendopo milik Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, beberapa hari lalu.
Pertama RG mengatakan bahwa untuk bersekutu dengan KAMI dia harus naik ke Gunung Pancar dan merobek bajunya serta menuliskan KAMI pada robekan itu, lalu menancapkan pada sebuah pohon di puncak gunung.
Kedua, dari Gunung Pancar itu dia melihat sebuah Pendopo yang angkuh, yang dia akan suatu saat melumpuhkan keangkuhan pendopo itu. Hanya berselang beberapa waktu ternyata dia berpidato di pendopo tersebut (acara KAMI). Ketiga, Rocky mengatakan bahwa di puncak Gunung Pancar itu dia memikirkan dua hal, yakni a) Rolling Stone. Sebuah batu besar yang berguling dari puncak gunung itu akan mungkin pada dua hal, yakni a. 1) batu besar itu tidak menyisakan bekas apapun pada bagian luarnya. Bahkan bekas lumut. a. 2) Namun batu besar yang berguling itu dapat membuat batu2 di sekitarnya ikut berguling bergelinding ke bawah sehingga membuat perubahan struktur gunung itu.
Pikiran lainnya, b) RG menemukan kekeringan pada desa2 di Gunung Pancar karena sumber air disedot properti2 mewah milik orang kaya di kaki Gn. Pancar. Petani dikorbankan oleh situasi itu.
RG memukau KAMI dalam pidato singkatnya karena RG dapat menjelaskan kerangka perjuangan KAMI dengan dialektika yang baik. RG menjelaskan arah perjuangan KAMI adalah menjadikan orang2 miskin di puncak Gunung Pancar harus lebih mulia daripada orang2 kaya raya di bawah gunung itu, di Sentul. RG menjelaskan strategi perubahan harus melihat tanda2 alam dan melihat bergulirnya bebatuan. KAMI sebagai “batu besar” harus mampu menggerakkan bebatuan lainnya bergulir dan merubah struktur pegunungan (perubahan sosial besar).
Rocky adalah bapak filsuf Indonesia. Seperti Plato, RG mengalami transformasi dari “pure reason” menjadi juga “empiricism”. Pembahasan RG terhadapa segala hal, sebagaimana Plato muda, harus mengutamakan akal sehat. Jika tidak bisa dicerna akal sehat maka apa yang bisa didiskusikan.
Namun, perenungan RG dari gunung ke gunung, seperti juga Himalaya beberapa tahun lalu, membawa RG percaya pada kekuatan alam semesta. Dalam “pure reason”, RG juga sering menyelipkan kata kata tentang hukum alam dan kekuatan alam. Di sini RG berinterseksi dengan kalangan agama yang menempatkan kekuatan “beyond ratio” pada Tuhan YME. Ruang interaksi itu membuat perubahan besar RG muda dengan RG saat ini, di mana dirinya banyak berinteraksi dengan para agamawan, khususnya kalangan ulama.
Pengamatan atau observasi RG atas nasib petani yang kekurangan air, membawa RG dari filsup “prepositional knowledge” ke arah sosiolog. Tesa, Anti Tesa dan Sintesa tidak lagi terjadi karena (ala Hegelian) perbenturan idea, namun RG menemukan jawaban dari observasi (pengamatan).
Fakta dan tafsir atas fakta menjadi penting dalam bagian hidup RG.
Fakta dan tafsir atas fakta pada kehidupan Plato telah pula merubah Plato yang awalnya percaya demokrasi menjadi ragu terhadap demokrasi. Kematian gurunya, Socrates, dihukum mati, di era demokrasi Yunani, membawa Plato terguncang.
RG sepanjang hidupnya adalah pejuang demokrasi. Di masa otokrasi Orde Baru, RG telah ikut mendirikan Fordem (Forum Demokrasi), yang melawan Suharto. Forum Demokrasi sangat terkenal didirikan antara lain oleh Gus Dur, Marsilam Simanjuntak, Rahman Toleng. Dua terakhir adalah bagian guru politik RG.
Namun, RG melihat sepanjang 20 tahun belakangan ini, demokrasi telah ditunggangi dan dikangkangi pemilik modal dan kaum oligarki lainnya, untuk membuat antara lain, petani2 kehilangan air karena disedot properti mewah orang2 kaya. Dua puluh tahun, atas nama demokrasi, perampokan sumber daya alam kita terjadi dan tidak menyisakan bagi orang2 miskin.
Bisa jadi jalan demokrasi bagi RG sedang dicurigainya, sebagaimana Plato akhirnya menolak demokarasi. Namun, tamopaknya RG masih menyimpan demokrasi sebagai yang terbaik.
Penutup
Debat RG dengan seorang pejabat negara dari kementerian Kominfo RI, yang juga Guru Besar Universitas Airlangga, dua hari lalu di sebuah stasiun TV, telah diikuti dengan hujatan sang Guru Besar bahwa RG memberi dua manfaat di Indonesia, katanya, 1) RG telah menyatukan kelompok yang dinilai kelompok intolerant. 2) RG membantu Guru Besar tersebut memperbanyak follower tweeter nya.
Penjelasan saya di atas sebelumnya, telah menjelaskan bahwa RG adalah pewaris pikiran kaum liberal, yang di jaman Belanda dan Kemerdekan, disebut orang2 PSI (Partai Sosialis Indonesia). Namun, paska kematian Dr. Syahrir dan kematian Rahman Toleng, gurunya, transformasi telah terjadi pada RG. RG telah mengasah dirinya menjadi kekuatan pencerah bagi bangsa dan perjalanan cita-cita bangsa.
Istilah intoleran, misalnya, dalam pandangan kekinian RG bukanlah sekedar pembelahan sosiologis, namun intolerant bagi RG adalah ketikan orang2 kaya supermewah di kaki Gunung Pancar telah merampok air dari orang2 petani miskin di wilayah atasnya. Kelompok intoleran bagi Rocky bukan lagi mayoritas Islam ingin menegakkan Kalimat Tauhid, namun adalah segelintir orang yang menguasasi 80% kekayaan bangsa kita, dan menjadikan orang2 miskin pengemis di negerinya sendiri.
Professor atau bukan, buat RG adalah soal kecil. Sebagaimana ejekan guru besar itu padanya. Bagi RG, guru besar jika otaknya kecil, akan tidak bermakna. Dalam sejarah “Genocide” pada jutaan orang2 Jahudi di Jerman di masa Hitler adalah karena hampir semua guru besar terlibat mendukung Hitler.
Sebagai seorang filsup, kekuatan RG adalah di “otak besar” dengan melampau batas2 epistemologi dan methodologi. Epistemologi dan methodologi seringkali menjerat kaum cendikiawan pada tanggung jawab kemanusiannya.
Sebagai filsup, RG telah menjadi candu bagi anak2 milenial dan emak emak untuk kembali belajar filsafat (sebuah ilmu yang rumit dan membosankan). Kemampuan RG mencerahkan manusia dengan akal sehat dan mudah dipahami, membuat RG mampu menghimpun banyak pebgikut, “No Rocky, No Party”. Guru Besar Airlangga itu kagum RG bisa menambah jumlah followers setelah debat dengan RG.
Dalam masa tranformasi dunia saat ini karena pandemi (digitalisasi total kehidupan, deglobalisasi, dan social justice) peranan filsup sangat dibutuhkan, disamping ulama2 dan tokoh2 agama. Mudah2an RG akan sebesar atau lebih besar dari Plato nantinya.