Oleh: Adi Saputra*
Oerban.com – Di tengah belantara Sumatra yang dulu hijau dan lestari, kini tersisa tanah yang terkoyak, sungai yang keruh, dan masyarakat yang resah. Semua itu bukan karena bencana alam, melainkan akibat tambang emas ilegal yang menjamur tanpa kendali.
Seiring meroketnya harga emas di pasar global, aktivitas Tambang Emas Tanpa Izin (PETI) di Provinsi Jambi meningkat tajam. Dari Sarolangun, Merangin, Bungo, hingga Tebo, wilayah-wilayah ini menjadi sasaran utama praktik tambang ilegal.
Pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya sudah lama menyadari persoalan ini. Namun, berbagai kebijakan yang digulirkan untuk menangani PETI tampak hanya berjalan di permukaan.
Pada 2022, Pemerintah Provinsi Jambi mengumumkan akan memberlakukan moratorium terhadap aktivitas tambang ilegal dan mempercepat legalisasi tambang rakyat. Tapi hingga kini, kebijakan itu justru lebih banyak menimbulkan kebingungan di lapangan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, moratorium itu malah memberi celah baru. Para penambang menganggapnya sebagai “lampu hijau” untuk terus beroperasi, selama mereka tidak tertangkap tangan.
Asnah (43), warga Desa Lubuk Bedorong, Sarolangun, mengaku hidupnya berubah sejak tambang ilegal masuk ke daerahnya. “Dulu air sungai jernih, sekarang hitam dan bau minyak. Kami bahkan tak berani lagi makan ikan dari sungai,” katanya sedih.
Kondisi ini diperparah oleh penggunaan alat berat dan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses pemurnian emas. Padahal, sungai dan tanah adalah sumber penghidupan utama masyarakat sekitar.
“Sudah ada anak-anak yang menderita gatal-gatal dan iritasi kulit. Kami takut ini akibat limbah tambang,” ujar Zulkifli, seorang guru SD di Kecamatan Jangkat Timur, Merangin.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi menyatakan telah menerima puluhan laporan soal pencemaran air dan tanah akibat tambang ilegal. Namun, penanganannya kerap lambat karena terkendala koordinasi lintas instansi.
Sementara itu, aparat penegak hukum mengaku sudah melakukan berbagai operasi penertiban. Pada 2024 lalu, Polda Jambi bersama TNI melakukan razia besar-besaran di Sarolangun dan Merangin.
Namun, hasilnya tidak signifikan. Sehari setelah razia, para penambang kembali ke lokasi. Bahkan, beberapa warga menyebut ada aparat yang justru “main mata” dan melindungi aktivitas ilegal itu.
“Kalau datang polisi, mereka kabur. Tapi besoknya balik lagi. Kami sudah lelah lapor-lapor,” ucap seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan keterlibatan oknum aparat dan pejabat dalam bisnis PETI bukan isu baru. Beberapa kasus bahkan sempat mencuat ke media, meski penyelesaiannya selalu menggantung.
Masalah tambang ilegal di Jambi memang tidak bisa dilihat hanya dari sisi hukum. Ada dimensi ekonomi yang sangat kental. Banyak warga yang menggantungkan hidup pada PETI karena tidak ada lapangan kerja lain.
Harga komoditas seperti sawit dan karet yang terus menurun membuat warga beralih ke tambang emas sebagai jalan pintas untuk bertahan hidup. Satu hari menambang bisa menghasilkan jutaan rupiah, jauh lebih besar dari bertani.
“Kalau mau kami berhenti, ya kasih kami kerjaan yang jelas. Jangan cuma ngancam dan nangkap,” kata Riko (27), penambang di Bungo.
Upaya pemerintah untuk melegalisasi tambang rakyat juga tak berjalan mulus. Proses perizinan yang rumit dan mahal membuat banyak kelompok masyarakat patah arang di tengah jalan.
“Bikin izin tambang rakyat itu mahal, harus ada koperasi, AMDAL, sampai ke Jakarta urusnya. Mana bisa kami rakyat kecil,” ujar Salim, pengurus koperasi tambang rakyat di Tebo.
Sementara itu, kerusakan lingkungan makin menjadi. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, lebih dari 15.000 hektare hutan di Jambi rusak akibat tambang ilegal dalam lima tahun terakhir.
Kerusakan ini berdampak langsung pada bencana ekologis. Longsor, banjir, dan kekeringan mulai sering terjadi di wilayah yang dulunya aman. Musim tanam pun jadi tidak menentu.
Anak-anak yang tumbuh di sekitar tambang ilegal juga menghadapi risiko kesehatan jangka panjang. Banyak dari mereka terpapar merkuri tanpa disadari.
“Negara harus bertindak tegas. Ini bukan lagi soal emas, ini soal nyawa manusia dan masa depan lingkungan kita,” tegas Devi Anggraini, aktivis lingkungan dari Jambi.
Sayangnya, hingga pertengahan 2025, belum terlihat langkah konkret yang benar-benar mengubah situasi. Pemerintah pusat dan daerah tampak masih saling lempar tanggung jawab.
Koordinasi antarinstansi pun lemah. Sering kali antara Dinas ESDM, Lingkungan Hidup, Kepolisian, dan Pemerintah Daerah tidak sejalan dalam penanganan kasus tambang ilegal.
Di balik kegagalan itu, muncul satu pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari maraknya tambang ilegal ini?
Selama negara belum mampu menjawabnya dengan transparan dan bertindak tegas, maka tambang ilegal akan terus menjadi ladang emas bagi segelintir orang dan ladang air mata bagi rakyat kecil.
Kini masyarakat Jambi hanya bisa berharap, agar suara mereka tak terus-menerus tenggelam di bawah gemuruh mesin tambang.
Sebab, di antara emas dan air mata, negeri ini harus memilih. Dan sejauh ini, kita seperti belum benar-benar memilih.
*Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi.