Kota Jambi, Oerban.com – Memberi amplop saat hajatan maupun resepsi pernikahan merupakan budaya yang seringkali kita jumpai dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pasangan yang sedang berbahagia atau tuan rumah yang memiliki hajatan. Meskipun umumnya berisikan uang, ada juga yang menggantiya dengan hadiah berupa perlengkapan rumah tangga dan hal-hal lainnya.
Sebagian besar orang menganggap,amplop atau pemberian hadiah tersebut harus dikembalikan pada si pemberi dapat diasumsikan sebagai hutang. Nah benarkah hal tersebut dapat disebut hutang, bagaimana fikih Islam memandang hal ini?. Berikut penjelasan Dr. Oni Syahroni yang dikutip dalam bukunya berjudul Fikih Muamalah Kontemporer (2019).
Dalam buku tersebut ia menjelaskan, pertama, menurutnya amplop tersebut harus diperjelas. Apakah maksud pemberian itu untuk hibah sebagai rasya syukur dan gembira atas walimah atau resepsi tersebut, ataukah menjadi pinjaman yang harus dibayar oleh shohibul bait tradisi yang berlaku di suatu masyarakat.
Kedua, maksud amplop hajatan tersebut itu perlu dilihat dari tradis masyarakat karena tidak ada maksud tertulis dari pemberian tersebut, apakah hutang atau hibah. Contohnya di beberapa desa ada tradisi dimana yang mempunyai hajat mengundang seseorang untuk hadir dan memberikan amplop berisi uang, maka uang terebut sesungguhnya adalah pinjaman atau hutang yang harus dibayarkan oleh bersangkutan pada saat si pemberi tersebut memiliki hajatan.
Tradisi tersebut walau tak terucap dan tak tertulis, itu mengikat dan dipahami sebagai pinjaman. Sebagaimana kaidah fikih menjelaskan, “sesuatu yang sudah menjadi tradisi itu seperti syariat”.hal ini maksudnya seperti sesuatu yang sudah menjadai kelaziman dan tradisi masyarakat itu seperti halnya menjadi syarat yang harus dipenuhi. Seperti juga tradisi yang terjadi di perkotaan,setiap yang hadir memenuhi undnagan dan memberikan sejumlah uang atau barang itu adalah pemberian dan hibah semata bukan utang piutang. Dengan demikian, maka pemberian tersebut bukan sebagai utang tetapi sebagai pemberian biasa yang tidak wajib untuk dibayar.
Ketiga, dalam adab-adab berwalimah itu setiap muslim dan muslimah punya kewajiban untuk memenuhi undangan termasuk ikut bergembira atas walimah hajatan yang diselenggarakan oleh saudaraya. Salah satu ungkapan kesyukuran tersebut bermacam-macam, di antaranya selain hadir juga memberikan sejumlah uang tertentu bkepada yang bersangkutan sebagai bantuan dn sejenisnya.
Oleh karenanya, maka pemberian uang kepada yang berhajat atau berwalmah tersebbut itu pada prinsipnya sebagai hadiah pemberian biasa bukan utang piutang. Kecuali jika ada tradisi sebagai pinjaman dan dicatat sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar”. (QS. Al-Baqarah (2) : 282).
Namun jika sebagai pinjaman, maka harus dilunasi sesuai denagn pokok pinjaman tanpa disyaratkan kelebihan atau manfaat karena berstatus sebagai pinjaman transaksi sosial (qordul hasan). Keempat, mempertimbangkan aspek regulasi atau hukum positif terkait dengan kebolehan untuk menerima uang tertentu, misalnya ketentuan tentang gratifikasi dan sejenisnya agar comply secara hukum.
Dengan demikian, pemberian uang itu adalah hadiah bukan piutang yang harus di bayar. Kecuali ada tradisi masyarakat yang dipahami secara tegas bahwa itu adalah pinjaman, maka harus dicatat dan dibayar sesuai dengan pokok pinjamannya,