Oleh: Gino Tan Kabaujo*
Oerban.com – Bumi Manusia merupakan film drama biografi sejarah Indonesia yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kisah seorang pemuda Jawa berdarah ningrat bernama Minke.
Di awal film, kita dapat melihat seorang pemuda terpelajar bernama Minke (nama yang didapat di HBS yang bermula dari panggilan temannya dengan kata Monkey) yang diajak temannya yang berdarah Belanda dan pribumi untuk bertemu dengan seseorang yang juga berasal dari keluarga berdarah Belanda dan pribumi.
Mungkin aku tidak sempat menceritakan keseluruhan filmnya karena aku bukanlah pendongeng. Melalui tulisan ini, mungkin saat ini aku hanya bisa berpendapat atas apa yang kurasakan tentang bagaimana keadaan dan kenyataan dalam film Bumi Manusia dengan yang katanya sekarang masa keemasan demokrasi di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya namun masih jauh dari kata sejahtera untuk sumber daya manusianya.
Di dalam film Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, kita dapat melihat terdapat dialog yang menyatakan: “Bahwa Eropa yang menciptakan hukum dan Eropa pula yang memainkannya.” Di situasi saat ini, kita memang sudah lepas dan bebas dari jajahan bangsa asing. Kita bisa dikatakan merdeka secara objektif, tetapi secara subjektif, rakyatlah yang bisa merasakannya.
Pasca kemerdekaan, kita sebagai pribumi mulai mengotak-atik bagaimana eloknya bangsa ini. Awalnya, pemikir melahirkan ide dan gagasan besar tentang bangsa ini, mulai dari lahirnya Pancasila hingga Bhinneka Tunggal Ika. Namun, pada saat sekarang rasanya kita bukannya memajukan peradaban bangsa, namun malah menghinakan bangsanya sendiri dengan mempermainkan hukum untuk melanggengkan kekuasaan.
Rakyat masih minim dalam mendapatkan pendidikan, sehingga banyak yang mati karena kelaparan hanya karena kebijakan-kebijakan pejabat yang tidak berpihak kepada rakyat. Setiap Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada, rakyat bersorak-sorai tiap lima tahun sekali berharap akan ada pemimpin yang mampu merubah nasib mereka, namun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba.
Rakyat hanya diberikan kesejahteraan tiap lima tahun sekali. Selepas pesta demokrasi, rakyat kembali menjadi budak bagi negeri sendiri. Bangsa ini bukan diperjuangkan oleh bangsawan, bukan pula oleh orang yang memiliki harta berlimpah, bukan pula oleh segelintir orang, namun bangsa ini diperjuangkan atas dasar perjuangan bersama, yaitu perjuangan rakyat.
Sebelum adanya TNI maupun polisi, nenek moyang kita sudah angkat senjata untuk memerdekakan bangsa, hingga bambu pun kita jadikan senjata untuk melawan penjajahan. Namun, sekarang kita lihat siapa yang dapat merasakan kemerdekaan, siapa yang dapat merasakan kesejahteraan, siapa, siapa, dan siapakah kita di negeri sendiri?
Aku adalah manusia pribumi yang hidup di tanah negeri sendiri, bermimpi besar agar dapat melihat senyuman dari Ibu Pertiwi yang ingin melihat rakyatnya bergotong-royong membangun negeri. Namun apalah daya, hingga saat ini Ibu Pertiwi masih belum dapat melihat kesejahteraan di negeri ini. Darah yang bertumpahan demi kekuasaan, dan rakyat yang dibungkam dengan dalih kebijakan, lahan-lahan digusur tanpa pertimbangan, mengatasnamakan pembangunan dengan tidak memberikan ganti rugi terhadap rakyat yang kehilangan lahan.
Lalu siapakah kita di negeri sendiri? Apakah kita tidak pantas untuk menikmati hasil bumi sendiri? Apakah kita tidak pantas menikmati kekayaan alam di negeri ini? Rakyat dibutakan oleh kata merdeka, pendidikan yang belum merata, pembangunan yang tidak jelas arahnya ke mana. Apakah negeri ini akan kembali ke masa kelam dengan sendirinya? Saya tidak tahu pasti, yang saya tahu adalah bahwa kita semua di negeri ini sebagai pribumi masih belum merasakan apa makna sila kelima dari Pancasila.
Sejarah selalu diungkit dan dikenang, tetapi kita tidak tahu untuk apa sebenarnya kita memahami pelajaran sejarah, jika tanpa mengamini nilai-nilai Pancasila. Negeri ini adalah negeri yang beragam, mulai dari suku, agama, ras, dan adat. Keberagaman inilah yang membuat negeri ini indah dan kaya raya, namun seringkali keberagaman dijadikan alat pertengkaran untuk melanggengkan kekuasaan, mengatasnamakan mayoritas, tetapi minoritas selalu memiliki ruang gerak terbatas.
Apakah keberagaman di negeri ini akan selalu menjadi keuntungan untuk mereka yang ingin melanggengkan kekuasaan? Negeri tetangga memang tidak sekaya negeriku, tetapi di negeriku rakyat tidak boleh menikmati kekayaan negerinya sendiri.
Di dalam film Bumi Manusia juga terdapat dialog yang menyatakan: “Bahwa bangsa pribumi modern harus duduk setara dengan bangsa Eropa, memecahkan persoalan bersama dalam satu organisasi.” Di negara yang beragam ini, rasanya memang seringkali rumit untuk menjunjung tinggi nilai Pancasila. Namun sebagai negara demokrasi dengan negeri yang memiliki masyarakat yang beragam, kita berhak memilih pemimpin yang seharusnya memang betul paham akan sejarah dan keberagaman di negara ini.
Aku tidak tahu bagaimana mengutarakan perasaan tentang keadaan bangsa ini yang sudah tujuh kali ganti nahkoda namun masih belum jelas arahnya ke mana. Arahnya mungkin sudah ada, atau nahkodanya yang tidak tahu ukuran kapalnya. Saat ini kita sudah ganti nahkoda dengan janji yang beragam kata. Berdasarkan sejarah, beliau sepertinya mengetahui persoalan bangsa, tetapi sering kali kita lihat, mereka yang mengerti sejarah malah mereka yang akan menjarah.
Inilah suara rakyat. Sebagai rakyat, kita berharap kepada pemimpin negara untuk mengembalikan negeri ini seperti yang diharapkan oleh para pemikir bangsa. Walaupun terjadi pertarungan ide dan pikiran tentang bangsa ini, namun tujuan mereka tetaplah satu, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Dalam film Bumi Manusia ini juga terdapat dialog yang menyatakan: “Dari seluruh manusia dari bumi moyangku ini telah membuktikan, bahwa masih ada jenis orang beradab tanpa perlu menunjukkan dari mana dia berasal, berwarna kulit apa, berbahasa apa,” karena sejatinya itulah arti dari suatu kalimat Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai rakyat, kita tidak akan pernah bisa diam melihat persoalan-persoalan yang ada di negeri ini. Jika mereka yang mengaku pribumi, terpelajar, gagah, dan memiliki kekuasaan belum mampu melakukan perubahan di bumi moyangku, dan malah menikmati hasil dari kekayaan alam bangsa yang besar tanpa memikirkan dan merasakan bagaimana bentuk senyuman dari Ibu Pertiwi.
Kita bukan lagi negara yang dijajah, kita bukan lagi bangsa yang ditindas, dan kita bukan lagi bangsa yang bisa dibodohkan dengan hukum Eropa, tetapi kita adalah bangsa yang menyatakan kemerdekaan dengan melakukan perlawanan atas penjajahan dan penindasan bangsa asing, dengan banyaknya pertumpahan darah demi satu kata, yaitu kemerdekaan.
Namun, apakah sekarang kita sudah merdeka? Ataukah kita hanya menikmati panggung yang sudah dibuat dan dirancang dengan pengorbanan yang besar dari orang-orang yang sudah mendahului kita? Untuk hal itu, yang pasti aku tidak benar-benar tahu, yang aku tahu hanyalah bahwa di sekolah-sekolah maupun di bangku kuliah kita masih membicarakan tentang sejarah, dan selalu terdengar di telinga dan teringat-ingat di kepalaku bahwa mereka selalu mengatakan: “Sejarah hanya ditulis oleh pemenang.” Siapakah pemenang itu? Apakah rakyat? Apakah segelintiran orang? Ataukah mereka yang memiliki kekuasaan? Ataukah bangsa ini masih belum merdeka?
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Bung Karno: “Perjuangan kami lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.”
*Mahasiswa Hukum Universitas Jambi