email : [email protected]

30.2 C
Jambi City
Senin, Mei 6, 2024
- Advertisement -

Jerat Polarisasi Membayangi Pesta Demokrasi

Populer

Oerban.com – Tahun 2024 akan menjadi tahun bersejarah bagi demokrasi di seluruh Indonesia. Partai Politik akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan bersamaan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) DPR, DPD dan DPRD. Pemilu akan dilaksanakan dengan memilih wakil di legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden RI pada 14 Februari 2024. Kemudian dilanjutkan 27 November 2024 untuk memilih kepala daerah, yakni gubernur dan bupati atau wali kota.

Dalam teorinya, rakyat akan diberikan hak seluas-luasnya untuk memilih kontestan terbaik yang akan menjadi aktor elit bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia ke depannya. Hal ini tentu momentum yang krusial mengingat bangsa ini sudah berumur 77 tahun, mesti ada perubahan besar yang mendewasa dalam wajah demokrasi.

Sejarah akan berbicara tentang bagaimana perjalanan suatu bangsa tumbuh dan hidup di atas problematika yang harapannya mendewasakan. Demikian juga halnya dengan perjalanan demokrasi di Indonesia, akan selalu ada rintangan dan polemik yang mengiringi proses perjalanannya. Berbicara tentang harapan, tentunya demokrasi yang diinginkan ialah yang sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 “melindungi segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia.”

Dalam ikhtiar menggapai cita-cita bangsa, akan ada tantangan yang meski dihadapi. Corak yang beragam dari kultur, etnis, agama dan budaya dapat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi menggapai cita-cita tersebut. Tantangan akan lebih jelas hadir terlebih mejelang puncak pesta demokrasi, yakni dalam Pemilu tahun 2024 mendatang.

Isu seksi yang berdaya ledak tinggi seperti mengandung muatan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) akan selalu membayangi Pemilu sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun yang sudah, termasuk di pemilu mendatang isu ini akan tetap seksi untuk dimainkan. Berkaca dari Pemilu beberapa tahun terakhir, isu inilah yang terus digoreng menjelang pelaksanaan pemilu. Kondisi ini dapat memberi celah bagi polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menjadi perhatian yang serius sebab dalam satu sisi ia menjadi ancaman bagi persatuan bangsa namun di sisi lain juga menjadi peluang bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Baca juga  Muhaimin Merapat ke Anies, Pilpres 2024 Jadi Ajang Perhelatan Suksesor Jokowi?
Polarisasi

Sebuah penelitian tentang polarisasi politik mengungkap bahwa polarisasi tidak selalu memberikan efek negatif. Di lain sisi, polarisasi justru memberi dampak positif, salah satunya ialah dapat mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat.

Seorang sarjana politik, Alan Abramowitz, mengungkap bahwa selama pemilihan presiden Amerika pada 2004 dan 2008, para pemilih termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye merupakan efek dari polarisasi politik. Abramowitz menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi.

Melihat kepada tingkat partisipasi pemilih di Indonesia dari tahun ke tahun ternyata juga terjadi peningkatan. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 menghasilkan partisipasi pemilih yang paling tinggi sebesar 81,9 persen, meningkat dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sebesar 69,6 persen. Begitu pula dalam pemilihan kepala daerah, di mana partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 sebesar 76,9 persen, meningkat dari pemilihan kepala daerah tahun 2015 (70 persen), 2017 (74 persen), dan 2018 (73,2 persen).

Secara kuantitas, tingkat partisipasi pemilih mencerminkan antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap Pemilu. Hal ini merupakan modal dan acuan agar menjadikan Pemilu yang akan datang menjadi lebih baik. Maka tentu kondisi ini diharapkan dapat membawa perubahan besar secara kualitas dari keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Di balik itu, polarisasi akan terus membayangi dengan sisi negatif yang mengiringinya. Di tengah derasnya informasi, berita bohong akan terus membanjiri dan membentuk opini publik. Hal ini memberi ruang bagi polarisasi yang memberi efek buruk kepada masyarakat. Masyarakat akan terpecah hingga berujung kepada tindak kriminal yang berbahaya.

Menurut Somer dan McCoy, setidaknya ada tiga indikasi dari polarisasi. Pertama, warga atau elite terbelah sehingga muncul istilah “kita versus mereka”. Kedua, petahana atau pengusaha membingkai lawan politik dengan musuh negara. Menggunakan regulasi, penguasa menekan dan mengintimidasi lawan politik. Ketiga, saat eskalasi meningkat, terjadi polarisasi afektif. Orang dengan mudah mengekspresikan ketidaksukaan terhadap kubu lawan. Ekspresi ini terjadi di media sosial, dunia kerja, lingkungan masyarakat, hingga keluarga.

Baca juga  Bukan Popularitas, Partai Gelora Dorong Capres Tonjolkan Ide dalam Mengelola Situasi Global Saat Ini
Ikhtiar Indonesia yang Lebih Baik

Sistem pemilihan umum merupakan sebuah ikhtiar yang dilakukan untuk memilih pemimpin terbaik yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Dalam prosesnya akan ditemui banyak rintangan, salah satunya polarisasi yang terjadi menjelang Pemilu. Sebelum mencapai cita-cita yang diharapkan tentunya rintangan ini terlebih dahulu dihadapi.

Menjawab tentang bagaimana akan bertindak untuk mengubah jalan Pemilu menjadi lebih baik dengan tujuan agar polarisasi yang memberi efek negatif tidak meracuni masyarakat tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Setiap individu atau kelompok mesti menyadari kondisi ini, peduli, serta bertindak untuk melakukan yang terbaik agar keberlangsungan negara ke depannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Sebagai contoh, media massa atau pun individu berperan dalam menciptakan lingkungan kondusif untuk meminimalisir terjadinya polarisasi yang tidak baik. Tidak menutup kemungkinan dunia maya akan mengakibatkan gangguan informasi seperti disinformasi, misinformasi dan malinformasi. Maka di sini lah individu atau pun media massa dapat melakukan ikhtiar terbaik dengan cara memerangi informasi yang memberi efek buruk.

Setiap individu memiliki kesempatan untuk mencegah polarisasi, ialah dengan cara menggali informasi dari sumber yang terverifikasi, tidak mudah percaya dengan berita bohong (hoax), melakukan verifikasi atas suatu informasi, serta tidak mudah menyebarluaskan informasi yang belum jelas kebenarannya. Demikian juga dengan para jurnalis dan media mainstream, sebagai media yang bekerja secara etik tentu sangat wajib menyajikan informasi yang faktual dan tidak menyebabkan perpecahan. Di antara beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi polarisasi ialah dengan menyampaikan berita yang mendalam, liputan berbasis solusi, mematuhi kode etik jurnalistik serta melakukan cek fakta, independen dan tidak partisan.

Baca juga  HONOR TERAKHIR FAHRI HAMZAH DITENGAH REDUPNYA DEMOKRASI

Perjalanan keberlangsungan Pemilu dari tahun sebelumnya merupakan suatu pembelajaran. Perubahan merupakan keniscayaan yang akan terjadi ke depannya. Demikian pula polarisasi, akan tetap membayangi pesta demokrasi. Namun apakah akan berefek lebih buruk atau justru menjadi lebih baik? Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap lini.

Ainun Afifah, Editor Oerban.com 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru