email : oerban.com@gmail.com

25 C
Jambi City
Wednesday, July 16, 2025
- Advertisement -

Kesalehan yang Egois: Ketika Ilmu dan Doa Tak Lagi Membumi

Populer

Oleh: Muhammad Agus Saputra, S.Pd*

Oerban.com — Di tengah maraknya geliat keislaman dan semangat menuntut ilmu, ada satu penyakit yang justru kerap tersembunyi di balik jubah kesalehan: egoisme spiritual. Fenomena ini tak kasat mata, namun dampaknya membahayakan. Ini tentang orang alim, tapi hanya untuk dirinya sendiri.

Saleh, tapi tak melibatkan orang lain dalam kebaikannya. Pandai, namun enggan membagi ilmu. Bahkan dalam doa, ia hanya menyebut dirinya sendiri.

Padahal, Rasulullah SAW menunjukkan contoh yang bertolak belakang. Beliau tidak lari dari realitas masyarakat jahiliyah yang penuh kebodohan dan kezaliman. Nabi Muhammad SAW, sejak remaja, telah aktif berdagang dan bergaul dengan masyarakat.

Beliau menyaksikan ketimpangan, kezaliman, dan kebodohan yang membudaya, namun tetap tinggal, merenung, dan memikirkan solusi. Rasul tidak meninggalkan kampung halamannya meski kondisi saat itu sangat tidak ideal.

Sampai akhirnya, di usia 40 tahun, datanglah wahyu pertama: “Iqra’!” (QS. Al-‘Alaq: 1). Baca. Bukan hanya membaca teks, tapi membaca realitas, membaca kebutuhan umat.

Baca juga  Semangat Kurban: Antara Ketaatan dan Ujian Kehidupan

Menariknya, perintah tersebut tidak disertai dengan objek bacaan, tapi langsung diiringi dengan kalimat: “Bismi rabbikalladzi khalaq” dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Artinya, membaca realitas pun harus dibingkai dengan kesadaran ilahiah. Jangan sampai kita membaca banyak hal, paham berbagai persoalan, bahkan menguasai berbagai cabang ilmu, tapi lupa melibatkan Allah dalam prosesnya.

Ketika ilmu, doa, dan amal hanya untuk diri sendiri, di situlah letak bahaya besar itu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)

Baca juga  Agus Saputra: Pelajar Harus Berani Katakan Tidak pada Judi Online

Kesalehan dalam Islam tidak bersifat individualistik semata. Ia harus hadir dalam tiga dimensi:

1. Kesalehan Individu: ibadah personal, kejujuran, dan integritas diri.

2. Kesalehan Sosial: memberi manfaat kepada masyarakat, berkontribusi dalam kehidupan bersama.

3. Kesalehan Intelektual: pemikiran-pemikiran yang memberi arah, solusi, dan inspirasi bagi umat.

Baca juga  Makna Syukur di Bulan Dzulhijjah: Momentum Menguatkan Ibadah dan Ketakwaan

Jangan sampai pemikiran kita yang sudah ditempa bertahun-tahun dalam dunia akademik dan dakwah justru menjadi racun yang menggoda atau malah berbalik menjauhkan dari semangat perubahan.

Terlebih ketika kita hanya berpikir untuk “meninggalkan kampung halaman” tanpa pernah berpikir bagaimana menyelamatkannya.

Jika pun kita harus pergi demi studi, kerja, atau pengalaman, niatkan sebagai proses untuk kembali dengan kekuatan lebih besar.

Bukan untuk lari dari tanggung jawab. Setidaknya, seperti ungkapan para kader dakwah, “menjadi penyelamat bumi”, dimulai dari kampung halaman sendiri.

Bekal empat tahun menuntut ilmu bukan sekadar untuk mendapatkan gelar atau kenyamanan pribadi. Tapi menjadi modal untuk membawa perubahan nyata.

Jangan hanya menjadi ‘alim di menara gading’, tapi jadilah bagian dari perubahan di lapangan kehidupan.

*Penulis merupakan Da’i Kota Jambi

Baca juga  Awal Tahun Hijriyah: Momentum Menjemput Berkah dan Ampunan
- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru