Oleh: Ihwang Syaputra*
Oerban.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah terlepas dari aktivitas komunikasi. Entah melalui lisan, tulisan, gestur, atau sekadar ekspresi wajah, komunikasi menjadi sarana utama manusia untuk membangun hubungan, menyampaikan gagasan, hingga menyelesaikan konflik.
Namun, yang sering terlewat adalah pertanyaan mendasar: apakah komunikasi yang kita lakukan sudah benar-benar komunikatif? Komunikatif bukan sekadar berbicara panjang lebar atau menyampaikan pesan dengan lantang. Lebih dari itu, komunikasi yang komunikatif adalah komunikasi yang mampu membangun pemahaman dua arah.
Di sinilah banyak dari kita gagal. Tidak sedikit orang yang berbicara tanpa benar-benar mendengar, atau mendengar tanpa benar-benar memahami. Akibatnya, yang terjadi bukan koneksi, melainkan kesalahpahaman. Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Komunikasi yang tidak efektif dapat menjadi akar dari konflik sosial, keretakan hubungan personal, hingga gangguan psikologis.
Dalam ruang komunikasi interpersonal misalnya, salah tafsir bisa menimbulkan permusuhan. Sementara dalam komunikasi intrapersonal komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri minimnya kejelasan pikiran atau ekspresi bisa memicu stres dan krisis identitas.
Serial “Weak Hero Class 1” memberikan gambaran menarik tentang hal ini. Tidak hanya menyuguhkan konflik fisik antar pelajar, tetapi juga menyingkap akar dari kekerasan: kegagalan komunikasi. Lewat karakter Yeon Si-eun dan Beom-seok, kita melihat bagaimana ketidakmampuan untuk menyampaikan emosi, rasa tidak aman, dan kekecewaan dapat meledak menjadi konflik yang merusak.
Dalam dunia remaja, komunikasi bukan sekadar berbicara, tetapi juga tentang mendengar, memahami, dan menciptakan ruang aman untuk saling terbuka. Weak Hero mengingatkan kita bahwa komunikasi yang gagal bukan hanya membuat hubungan renggang, tapi bisa menciptakan luka yang dalam dan berkepanjangan.
Di era digital saat ini, tantangan komunikasi justru semakin kompleks. Pesan teks yang tanpa intonasi, percakapan daring yang serba cepat, dan budaya “salah paham di kolom komentar” menjadi bukti bahwa komunikasi modern belum tentu lebih baik. Kita butuh lebih dari sekadar kemampuan bicara kita butuh kecakapan berkomunikasi secara empatik, reflektif, dan terbuka.
Solusinya? Mulai dari hal-hal sederhana: dengarkan sebelum merespons, tanyakan sebelum menyimpulkan, dan sampaikan pesan dengan niat untuk dipahami, bukan hanya untuk didengar. Jika ini diterapkan secara konsisten, komunikasi akan kembali pada fitrahnya: menjadi jembatan pemahaman, bukan sumber pertengkaran.
Karena pada akhirnya, keharmonisan dalam hubungan pribadi, sosial, bahkan organisasi, sangat bergantung pada satu hal mendasar: cara kita berkomunikasi.
*Jurnalis Oerban.com