email : oerban.com@gmail.com

25.2 C
Jambi City
Wednesday, January 22, 2025
- Advertisement -

Kontroversi Pergub Nomor 2 Tahun 2025, Peneliti TII: Aturan Kepegawaian Negara Seharusnya Melindungi Seluruh Pihak

Populer

Jakarta, Oerban.com – Dewi Rahmawati Nur Aulia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menyoroti kontroversi disahkannya Pergub DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang baru-baru ini disahkan.

Menurutnya, Pergub No 2/2025 ini perlu memberikan kepastian jaminan perlindungan negara terhadap semua pihak terutama Perempuan dan Anak. Dalam siaran rilis tertulisnya (21/1/2024) Dewi menyatakan bahwa Pergub Nomor 2 Tahun 2025 ini masih perlu untuk dikaji lebih mendalam terutama dalam konteks pra syarat pemberian izin bagi PNS untuk beristri lebih dari satu.

Dewi menyatakan bahwa meskipun persyaratan yang diberlakukan merujuk pada UU No 1/1974 (seperti isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan) namun sistem perkawinan Indonesia hanya mengakui jenis perkawinan monogami.

Baca juga  TII: Meningkatnya Biaya Pendidikan Harus Diikuti Transparansi dan Akuntabilitas

Selain itu, dengan beberapa persyaratan yang merujuk pada UU perkawinan yang lama tersebut meneguhkan bahwa permasalahan ketidakmampuan bereproduksi hanya berada di perempuan.

“Persyaratan PNS DKI untuk berpoligami menafikkan bahwa permasalahan ketidakmampuan untuk bereproduksi termasuk melakukan pelayanan hanya dilakukan oleh perempuan jelas merupakan bagian kerangka berpikir yang diskriminatif, padahal persoalan ketidakmampuan bereproduksi juga dapat ditemui oleh laki-laki,” ungkap Dewi.

Dewi sebagai peneliti bidang sosial TII juga menyatakan bahwa substansi izin poligami yang diatur dalam Pergub tidak semata-mata terkait dengan bagaimana konteks perempuan sebagai istri di dalam rumah tangga yang tidak dapat menjalankan perannya, namun ini juga dapat dihubungkan dengan beragam perilaku lain seperti terjadinya perselingkuhan individual.

“Tidak sedikit pelaku dari perilaku ini berakhir dengan menghasilkan anak dari hasil perzinaan. Oleh sebab itu, pemerintah DKI perlu memperluas syarat tersebut (baik jika itu dilakukan baik ASN pria maupun wanita) termasuk memberikan penghukuman administrasi seperti demosi, rotasi atau ditunda kenaikan pangkatnya,” ujar Dewi.

Baca juga  Hari Kesehatan Mental Sedunia 2024: Pentingnya Kolaborasi dalam Membangun Kerangka Kebijakan yang Komprehensif dan Inklusif

Lebih lanjut, Dewi mengingatkan bahwa pemberian izin poligami bagi ASN pria tidaklah menjadi satu-satunya menjadi jalan keluar dalam mengatasi permasalahan rumah tangga di lingkungan ASN. Pasalnya, jika merujuk pada data kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia tahun 2023 maka jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35%.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man). Aktivitas perilaku seksual ini telah menyumbang sekitar 30% penularan dari suami ke istri.

“Pemerintah perlu menimbang kemaslahatan dan mudarat dari diberikannya izin poligami kepada ASN pria, hal ini dilakukan terutama dalam upaya memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” tutup Dewi.(*)

Baca juga  Ini Kata Ahli Soal Polemik Partisipasi Bermakna untuk DPR Baru

Editor: Ainun Afifah

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru