Oleh: Syamsudin Kadir*
Oerban.com – Saya mengenal Majalah UMMI sejak edisi awal. Saat itu, saya mendapat pinjaman dari tetangga paman saya di Kiara Condong, Kota Bandung. Saat itu, kantor agen majalah-majalah Islam seperti Tarbawi, Sabili, termasuk UMMI di Kota Bandung berada di dekat rumah paman saya (Ir. Abdullah Malik) di Jl. Gatot Subroto, yang ke arah PT Pindad. Selain mendapatkan pinjaman gratis, kadang saya juga membeli beberapa majalah yang saat itu sangat digandrungi oleh aktivis mahasiswa di berbagai kampus di Kota Bandung, juga kota lainnya di seluruh Indonesia.
Saya termasuk pembaca aktif Majalah UMMI sejak edisi lama, di samping majalah lainnya. Saat itu, saya masih menempuh pendidikan di UIN Bandung dan sempat mengajar di sebuah lembaga pendidikan Islam binaan salah satu Ormas Islam di Kota Bandung. Saya lupa sejak kapan pastinya saya membaca majalah yang diminati kalangan aktivis perkotaan era 2.000-an ini. Kelak ketika berpindah ke Cirebon, 7 Oktober 2010, saya masih berlangganan majalah ini. Selain saya, istri saya pun aktif membaca, bahkan kadang membuat catatan khusus dari beberapa rubrik majalah ini.
Seingat saya, berdasarkan dokumentasi sekaligus arsip beberapa majalah di perpustakaan pribadi di ruang tamu rumah, saya berlangganan Majalah UMMI sejak Edisi Nomor 7/XV Desember – Januari 2003. Saat itu harga per eksemplar untuk majalah yang berslogan “Identitas Wanita Islam” ini masih Rp6.000 dan tebalnya masih 88 halaman. Adapun edisi terkahir yang saya baca adalah Edisi Nomor 03 XXIX. Maret 2017. Saat itu tebalnya 104 halaman dengan harga Rp22.000. Berita baiknya, sebagian majalah tersebut masih tersimpan rapih di perpustakaan buku rumah hingga saat ini.
Lalu, mengapa saya berlangganan dan aktif membaca majalah UMMI, bahkan sebelum kelak saya menikah pada 4 Oktober 2010? Pertama, rubriknya banyak dan pembahasannya mencakup banyak hal. Misalnya, tafakur, psikologi anak, ufuq, mutiara dakwah, ragam, kolom ayah, pangan halal, konsultasi kecantikan, dunia wanita, jejak, fiqih wanita, kesehatan keluarga, mar’ah shalihah, konsultasi ASI, ya ummi, tafakul, cerpen, solusi, cerbung, ufuq luar negeri, media kita, fragmen, sketsa, nuansa kehidupan, dapur ummi, album, obrolan dan iklan.
Kedua, ulasannya ringan dan diksinya mudah dipahami. Ulasan dari rubrik awal sampai akhir selalu menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh siapapun. Sebagai anak muda yang pernah bersekolah di sekolah dasar berlatar Katolik dan nyantri di pesantren masing-masing 6 tahun, ulasan semacam ini sangat memudahkan saya untuk memahami beragam tema dan isu yang berkembang, bahkan sedikit banyak belajar dan terdorong untuk belajar menulis. Hampir tak ada rubrik yang saya lewati saat membacanya. Pokoknya dibaca hingga tuntas.
Ketiga, redaksinya jagoan dan penulisnya rerata ahli di bidangnya. Majalah UMMI dihuni oleh para penggiat media profesional dalam bidangnya. Hal ini bisa dilihat dari desain cover, tata letak foto atau gambar, dan ukuran sekaligus jenis font yang digunakan.
Saya sendiri sangat suka pada majalah yang mencantumkan foto atau gambar yang sesuai dengan ulasan atau pokok bahasan. Selain itu, para penulis yang menyumbangkan tulisannya juga adalah para ahli di bidangnya. Salah satu penulis yang saya kagumi adalah Ustadz Tate Qomaruddin, Lc. Ulasannya ringan tapi isinya padat. Beliau jugalah yang memotivasi saya untuk menulis.
Keempat, warna dan nilai-nilai keislamannya sangat terasa. Sebagai majalah bernuansa Islam, berbagai hal yang diulas pada majalah ini selalu bernafaskan Islam. Bahkan berbagai rubrik memang didominasi oleh bahasan seputar Islam dalam beragam aspeknya. Sebagai perantau yang berasal dari kampung nun jauh di sana, tepatnya dari Manggarai Barat, NTT, saya merasa apa yang disuguhkan oleh Majalah UMMI sangat memenuhi kebutuhan dan selera saya. Saya merasa bahwa pengalaman belajar di pesantren mendapatkan afirmasi yang apik dari Majalah UMMI.
Semua rubrik yang ada di berbagai Majalah UMMI saya sukai. Selain rubriknya banyak, ulasannya juga mudah dipahami. Saya pun melahapnya dengan tuntas. Belakangan, Majalah UMMI semakin tebal halamannya. Bila dulu masih di angka 80-an halaman, belakangan sudah bertambah menjadi 100-an lebih halaman. Walau demikian, secara umum tema besar ulasannya masih seperti semula, dengan kemasan yang lebih menarik. Yaitu mencakup tema besar: Bahasan Utama, Keluarga, Mutiara Islam dan Kolom Opini juga Cerpen. Di samping itu, ada juga beberapa halaman untuk iklan produksi tertentu.
Selain Majalah UMMI, saya juga aktif membaca majalah lainnya seperti Saksi, Sabili, Al-Izzah, Tarbawi, An-Nida, al-Intima’, al-Muslimun, Risalah, al-Qudwah, Suara Muhammadiyah, Majalah Hidayatullah, ISLAMIA, Al-Insan, Gontor, dan sebagainya.
Saat itu, bila di kantor agen tak ada stok lagi, saya biasanya membeli langsung ke beberapa pedagang. Seperti di toko buku di sebelah selatan Masjid Salman ITB, toko buku di UNPAD Jatinangor, toko buku depan kampus UIN Bandung di Cibiru, pedagang yang suka berjualan di PUSDAI, Masjid Istiqomah, Masjid al-Fitrah Pindad, Kantor Pusat Persatuan Islam (Persis) di Bandung, toko buku Ponpes Darut Tauhid dan sebagainya. Belakangan hingga akhir 2010, saya pun ikut menjadi pedagang majalah-majalah tersebut.
Bagi saya, kehadiran majalah-majalah tersebut, termasuk Majalah UMMI sangat berdampak pada cara pandang saya terhadap banyak hal. Pengetahuan dan wawasan saya tentang pendidikan keluarga, nilai-nilai keislaman dan dunia sastra termasuk tradisi menulis semakin bertambah.
Dalam beberapa kesempatan saya berupaya untuk meringkas bacaan dari beberapa majalah tersebut. Ada banyak hal yang saya peroleh dengan gratis dan benar-benar menjadi modal hidup ketika kelak saya berumah tangga dan menjadi sosok ayah bagi anak-anak saya. Dengan demikian semua majalah tersebut, lebih khusus lagi Majalah UMMI, merupakan penguat identitas saya yang masih tertatih-tatih meniti jalan menuju seorang ayah yang berkarakter islami. (*)
*Penulis Buku “Muhammadiyah: Ide, Narasi dan Karya”.