Kota Jambi, Oerban.com – Lebih dari 90 peserta dari lintas organisasi, komunitas, dan perwakilan perguruan tinggi memadati Gadamala pada Minggu (20/4/2025). Mereka hadir dalam acara “Suara dari TAPAK”, sebuah aksi kampanye kolektif yang tidak hanya menyuarakan pengalaman perempuan akar rumput dalam menjaga adat dan lingkungan, tetapi juga merayakan pengetahuan lokal melalui pelatihan keterampilan yang berbasis budaya dan ekologi.
Acara ini diselenggarakan oleh Pundi Sumatra dengan dukungan Program ESTUNGKARA dari Kemitraan Partnership, bertepatan dengan momen peringatan Hari Kartini.
Mengusung tema “Ruang Kartini: Bicara, Berdaya, dan Berkarya”, kegiatan ini hadir dengan konsep yang lebih akrab, berbeda dari talkshow formal kebanyakan. Peserta diberikan pilihan: hanya menjadi pendengar dalam talkshow, atau turut mengikuti berbagai pelatihan keterampilan sembari mendengarkan cerita dan refleksi dari para narasumber.
Konsep ini lahir dari kesadaran akan keseharian perempuan, terutama di komunitas tapak, yang kerap melakukan pekerjaan tangan sambil berbincang atau berbagi pengalaman.
“Bayangin aja kita lagi duduk santai di depan rumah, berkumpul bersama dan melakukan aktivitas-aktivitas yang biasanya sering perempuan lakukan, menganyam, menjahit, dan meronce. Konsep itu yang kini kita hadirkan di sini,” tutur Dewi Yunita selaku CEO Pundi Sumatra. Gagasan tersebut menjadikan suasana acara lebih intim, hangat, dan mengalir.
Tingginya antusiasme peserta, terutama dari kalangan muda dan mahasiswa dari kampus, menandai tumbuhnya kesadaran terhadap isu-isu ekofeminisme dan pentingnya pelestarian pengetahuan lokal di tingkat tapak. Pelatihan keterampilan yang disajikan pun tak kalah menarik.
Peserta bisa belajar menjahit pembalut kain bersama Beranda Perempuan, membuat aksesoris dari kain perca batik bersama mahasiswa PPG Universitas Jambi, meronce manik-manik kertas dari perempuan Desa Penyengat Olak, menganyam resam bersama UMKM Idea Resam, hingga membuat piring dari lidi sawit bersama Aliansi Perempuan Merangin (APM).
Seluruh kegiatan pelatihan ini tidak hanya dimaksudkan sebagai ruang belajar keterampilan, melainkan juga sebagai aksi kampanye atas pentingnya ekonomi kreatif yang berbasis komunitas dan ramah lingkungan.
“Kerajinan yang kita pilih memang berbasis lingkungan, karena ini punya makna simbolis. Bahwa perempuan itu sangat identik dengan penjaga alam dan peradaban,” jelas Dewi.
Dari tangan yang bekerja dan dari bahan-bahan yang sederhana, muncul filosofi tentang keberlanjutan, ketahanan, dan solidaritas.
Sejalan dengan aktivitas keterampilan, sesi talkshow pertama menjadi ruang berbagi cerita dari perempuan tapak yang selama ini berjuang menjaga ruang hidup mereka. Hadir dalam sesi ini perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam dampingan Pundi Sumatra, perwakilan perempuan Talang Mama dampingan KKI Warsi, serta keterwakilan anak muda dari Forum Perempuan Muda, Aliansi Perempuan Merangin.
Mereka berbagi tentang bagaimana bertahan di perubahan sosial dan perubahan lingkungan yang sangat cepat. Meski berasal dari latar belakang komunitas yang berbeda, benang merah yang sama terasa, bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga relasi antara manusia dan alam.
Sesi talkshow kedua bertajuk “Ruang Kartini: Mengapa Kartini Harus Bicara?” menghadirkan Wenny Irawati, aktivis gender yang berbicara tentang perspektif GEDSI untuk perempuan adat. Hadir pula Asi Noprini dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Jambi yang menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, serta pentingnya sistem perlindungan yang menyeluruh.
Melengkapi percakapan ini, Ulvi Monica dari Pundi Sumatra dan Anggun Nova dari KKI Warsi berbagi pengalaman pendampingan terhadap perempuan komunitas adat, tentang bagaimana membangun ruang aman, menghadapi diskriminasi, dan memperkuat solidaritas perempuan dari bawah.
“Suara dari Tapak, ini mengingatkan bahwa perubahan besar dimulai dari hal-hal yang sederhana, dari obrolan sambil menjahit, dan dari anyaman yang diwariskan antar generasi, hingga dari keberanian perempuan untuk bersuara di ruang publik,” tutur Dewi.
Editor: Ainun Afifah