email : [email protected]

23.7 C
Jambi City
Minggu, April 28, 2024
- Advertisement -

Problematika Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Populer

Oleh : Hendra Novitra Laoly

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi problematika di kalangan mahasiswa dan menghadirkan pro dan kontra antar lembaga negara serta organisasi keagamaan. Dengan dalih bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, cacat secara formil karena tidak melaksanakan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan dan pada subtansinya lebih mengarah kepada legalisasi Seksual di Lingkungan Kampus, yang mana Praktek Seksual apabila tidak ada unsur pemaksaan maka penyimpangan tersebut tidak disalahkan, tentu hal ini melanggar nilai-nilai agama dan Sila 1 (satu) “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Urgensi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2020 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, beranjak dari data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan yang mana sepanjang 2015-2020 menyampaikan pengaduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan sebanyak 27 persen terjadi di perguruan tinggi.selain itu dalam survey yang dilakukan oleh kemendibudristek Kemendikbud juga melakukan survei di 2020 dan Hasilnya 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.Serta mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Kondisi ini pula yang membuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi menerbitkan dan menetapkan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi,  pada tanggal 31 Agustus 2021.

Terkait Permendikbudristek ini penulis berpendapat pertama, dengan adanya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi tentu memberikan payung hukum untuk korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, dengan memberikan perlindungan dan kepastian hukum serta mengatur terkait langkah-langkah represif terhadap pelanggar norma secara komprehensif. Hal ini tentu sangat bermanfaat, akan tetapi hal tersebut hanya menjadi harapan palsu yang tumbuh dan mengakar jika tidak dikuti dengan komitmen dalam  iplementasi Peraturan dan pengawasan berjalannya peraturan.

Baca juga  Tim TYMAC Faperta UNJA Berhasil Raih Pendanaan Nasional PHP2D

Kedua, Permendikbudristek ini dalam hal pencegahan Kekerasan Seksual di lingkungan Kampus, Cenderung mengarah membatasi Aktifitas mahasiswa di lingkungan kampus, tentu hal ini berpengaruh terhadap mahasiswa dalam mencari ilmu baik ilmu pengetahuan dan organisasi yang tidak di dapatkan oleh mahasiswa dalam pendidikan formal di kampus, hal ini tentu menjadi penghambat mahasiswa dalam berproses mengasah intelektual dan kepekaan terhadap permasalahan sosial.

Ketiga, dikarenakan menjadi problematika,  baik bermasalah secara formil dan materil diharapkan Permendikbudristek ini dilakukan revisi dengan mengedepankan asas keterbukaan yang melibatkan semua elemen dan lembaga seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Hal ini bentuk keterbukaan dan komitmen pemerintah dalam melaksanakan langkah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan menjadi contoh dan acuan nantinya untuk mencegah kekerasan seksual di dalam kehidupan masyarakat.

Keempat, terkait multitafsir yang menyatakan permendikbudristek ini melegalisasi seksual jika tidak ada unsur pemaksaan, maka tindakan menyimpang itu dapat dibenarkan. Sebagaimana pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf l, dan Huruf m, yang mana frasa “tanpa persetujuan korban” jadi kalau korban setuju apakah hal itu di bolehkan? Hal ini tentu di tentang oleh organisasi keagamaan yang menyatakan tidak sesuai dengan Sila Pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi praktek seksual yang di lakukan secara mau sama mau antara orang dewasa tidak merupakan penyimpangan secara hukum negara, akan tetapi seksual di luar perkawinan merupakan penyimpangan maka hal ini hanya dilihat dari sudut pandang moralitas. Dalam permendikbudristek ini pada Pasal 5 ayat (3) ada indikator yang dapat di lakukan penindakan walaupun posisinya mau sama mau, contohnya jika dibawah umur, dalam keadaan sakit, tertidur, pengaruh obat-obatan, pengaruh alkohol, dan lain sebagainya. Maka secara logika hukum permendikbudristek ini tidak ada melegalisasikan seksual di lingkungan kampus, karena pada dasarnya seksual yang di dasari mau sama mau oleh orang dewasa tidak melanggar norma hanya melanggar moralitas.

Baca juga  Magang Di Bapeltan jambi, Mahasiswa Universitas Jambi Belajar Buat Berbagai Produk Olahan Pertanian

Pada kesimpulannya bahwa, bagaimana nantinya aturan yang di terbitkan menjadi dorongan dalam meningkatkan aktifitas Mahasiswa yang juga menciptakan rasa aman dan nyaman di lingkungan kampus, yang tidak hanya berlandaskan jam operasional Kampus. Tentu hal ini juga di landaskan bagaimana implementasi aturan yang di terbitkan salah satunya terkait satuan tugas, yang nantinya yang akan melakukan penjagaan sekitaran kampus di luar jam operasional formal kampus, dan penambahan satuan penjagaan di lingkungan kampus. Selain diharapkan implementasi permendikbudristek ini, juga di bidang pengawasan terhadap aturan, birokrasi tidak menjadi sulit itu yang menjadi harapan kedepannya. Dan revisi dengan melibatkan lembaga-lembaga yang terkait serta mengedepankan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan untum meminimalisir problematika yang timbul dalam kehidupan bernegara.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru